PADA awal dua dasawarsa terakhir abad XX, kita menemukan diri berada dalam suatu krisis global yang serius yakni krisis kompleks dan multi-dimensional yang menyentuh setiap aspek kehidupan. Demikian, ungkap Fritjof Capra dalam buah penanya The Turning Point: Sains, Society, and the Rising Culture (1981).
Kompleksitas krisis menurutnya, meliputi kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini berhubungan dengan dimensi intelektual, moral, dan spiritual, yang menurut alumni Universitas Vienna ini, belum pernah terjadi dalam catatan sejarah umat manusia.
Penulis buku pepuler The Tao of Physics (1975) ini, juga memaparkan sebuah cerita bertajuk “The Cupboard of Idea is Bare”. Cerita yang konon dikutip dari Surat Kabar The Washington Post (1979) tersebut, memuat kisah tentang para pemikir besar yang tidak mampu memecahkan persoalan kebijakan mendesak bagi bangsanya. Tipe manusia yang digambarkan oleh Capra itu, termasuk kaum pemuja teknologi.
Lalu bagaimana pula potret manusia Indonesia, yang dewasa ini pun telah ikut ambil bagian dan bergaul dengan kultur global atas nama modernisasi?. Pertanyaan ini menarik dihubungkaitkan dengan beberapa realitas keberindonesiaan kita hari ini serta sejumlah keperihatinan di masa mendatang. Bahkan dapat menjadi tema permenungan kolektif kita, dalam mereformulasi arah kebijakan sosial dan strategi kebudayaan.
Mabuk Teknologi
Tentu kita masih ingat tatkala berbagai media memberitakan bahwa puluhan orang jatuh pingsan akibat antrean Blackberry yang dijual murah di Pasific Place Jakarta, Jumat 25 Nopember 2011 lalu. Harapan memiliki ponsel canggih yang justru berbuah petaka ini, berawal ketika muncul iklan diskon 50 persen bagi 1.000 pembeli pertama. Konsekuensinya, berjubellah para pengantre yang jumlahnya ditaksir melebihi angka pembeli yang dijanjikan diskon tersebut.
Kejadian memiriskan ini, mengajak kita mengetahui apa sesungguhnya metaprinsip di balik animo para konsumen blackberry tersebut. Perabaan spekulatif pertama yang memungkin dilakukan, yakni menelusuri motivasi konsumen yang berhubungan dengan dorongan hasrat memiliki. Dalam pikiran banyak orang, memiliki dan menggenggam ponsel BB merupakan satu kebanggaan tersendiri sehingga tidak sedikit pula orang yang mengidamkannya.
Kedua, perkembangan inovatif ponsel yang cukup pesat dewasa ini, berimplikasi pada makin bervariasinya merk dan tipe HP yang dijual di pasaran. Serentak dengan itu, selera konsumen pun ikut berubah sehingga didorong oleh hiperkonsumerisme tersebut, maka gonta-ganti ponsel menjadi trend terkini manusia modern. Akibatnya, membeli HP tipe terbaru seakan menjadi sebuah kemutlakan bagi kalangan tertentu.
Ketiga, masyarakat penggemar harga diskon sebagai ciri yang telah melekat kental pada konsumen di Indonesia menjadi faktor pendorong kuat untuk merebut dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Karena itu, demi mendapatkan potongan harga dari barang-barang yang akan dibelinya, tidak jarang seseorang mengabaikan kemungkinan risiko sekalipun mengancam jiwanya. Bahkan memperoleh harga diskon, kerap menjadi suatu kebanggaan dan kepuasan tersendiri dalam berbelanja.
Contoh kasus tersebut hanya merupakan satu dari seribu kisah, yang mencerminkan betapa manusia-manusia modern kini telah “mabuk teknologi”. Bahkan tidak jarang mereka telah memujanya secara berlebihan sebagai tuhan-tuhan digital, sehingga wajar jika banyak orang yang merasa hidupnya seolah tidak lengkap dan hari-harinya tidak utuh tanpa didampingi oleh perangkat teknologi semisal HP, Laptop, Ipad, dan sebagainya.
Digitalisasi Kehidupan
Bertitik pangkal pada “mabuk teknologi” oleh manusia-manusia yang katanya modern tersebut, berkonsekuensi pada lahirnya kecenderungan banyak orang mendigitalisakan kehidupan. Tengoklah kecenderungan orang-orang yang “mengabadikan” moment-moment penting dalam hidupnya melalui file video maupun gambar berformat jpg, dengan asumsi bahwa setiap saat dapat dibuka (dilihat) kembali dan bahkan dibagikan (digandakan) kepada orang lain.
Lihat pula kebiasaan banyak orang yang mem-file-kan aneka informasi maupun pengetahuan pada komputer lipat (genggam) atau hardisk eksternal miliknya, sehingga dapat diakses kapan dan dimana saja berdasarkan kebutuhan. Malahan dengan memiliki laptop dan perangkat teknologi semacamnya, oleh banyak orang dianggapnya cukup untuk memenuhi sebagian besar keperluan kesehariannya.
Seorang pengajar dengan bantuan laptop dan power point miliknya, sering merasa cukup terbantu untuk melaksanakan tugasnya dalam proses pengajaran. Dengan demikian, menurutnya kapan dan dimana saja ia diminta memberi materi pengajaran maupun seminar akan selalu siap berkat perangkat teknologi yang dimiliki. Lalu bagaimana dengan cerita tentang seorang pengajar yang tiba-tiba membatalkan pengajarannya, hanya karena faktor listrik padam?. Sangat ironis dan bahkan lucu, tentu saja.
Selain itu, telah cukupkah seorang mahasiswa yang hanya bermodalkan sebuah laptop menjalani hari-hari perkuliahannya tanpa ditunjang oleh setumpuk buku bacaan?. Sanggupkah fasilitas internet memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan seorang mahasiswa yang hanya mengandalkan download file?. Di sinilah gejala hypermedia harus diakui memiliki keunggulan sekaligus kekurangan.
Siapapun memang dapat mengakses aneka informasi melalui internet secara cepat bahkan bersamaan (sekaligus), sehingga hanya dengan hitungan menit kita dapat merambah puluhan situs informasi. Meski begitu, apakah kita sadar bahwa keterbatasan muatan kognitif yang dimiliki setiap orang tidak seimbang dengan banyaknya informasi yang diakses sekaligus. Pertanyaannya, kira-kira berapa persen yang mampu bertahan dalam memori kita dan bukankah justru lebih banyak yang tumpah tak berarti.
Singkatnya, digitalisasi kehidupan dan gejala hypermedia di satu sisi efektif untuk menyelesaikan tugas serta memfasilitasi kebutuhan informasi bagi banyak orang. Namun di sisi lain membawa efek ganda berupa lahirnya gaya hidup serba instan dan mengabaikan pentingnya rangkaian proses.
[Dimuat di Harian Tribun Timur, 4 Januari 2012].
*Penulis: Ahmadin Umar, Pengajar Program Pascasarjana UNM
You must be logged in to post a comment Login