Connect with us

Karya Tulis Ilmiah Populer

Pantai Losari Dahulu Bernama Logern

Published

on

MAKASSAR — Jika ungkapan lama bernada “jangan mati sebelum menginjak Kota Paris” pernah dijadikan slogan untuk menggambarkan keindahan dan daya tarik Ibukota Prancis ini, maka tidak terlalu berlebihan rasanya jika lahir ungkapan yang hampir serupa yakni “jangan tinggalkan Makassar sebelum melihat Losari”.

Pantai yang terletak di sebelah barat Kota Makassar ini, memang tidak termasuk dan tercatat dalam deretan nama tempat yang terkenal  sebagai tujuh keajaiban dunia seperti halnya menara Eiffel di Paris, akan tetapi di tempat yang kerap digelar sebagai restoran terpanjang di dunia inipun telah terpahat ratusan, ribuan, dan bahkan jutaan memori.

Betapa tidak, para pengunjung yang kerap memadati bibir pantai yang membentang dari utara ke selatan (atau sebaliknya) ini, datang dari tempat dan kepentingan yang berbeda. Di antara para pengujung bukan hanya warga Makassar, akan tetapi banyak juga di antara mereka berasal dari luar kota dan bahkan dari luar negeri yang  kebetulan menginap di kota ini.

Para pengunjung yang meluangkan waktu ke Pantai Losari, pun datang dengan kepentingan yang beragam mulai dari orang yang sekedar numpang lewat menghilangkan kepenatan dan rasa lelah dalam bekerja sepekan bergembira bersama keluarga, dan lain-lain termasuk telah dijadikan ajang menyatukan dua hati terutama bagi kau muda mudi. Singkatnya berakhir pekan di Pantai Losari, itulah kebiasaan sekaligus tema dari sebuah kata atau kalimat ajakan untuk menikmati keindahan pantai ini.

Puncak keramaian Losari, terutama pada akhir pekan (malam Minggu) dan hari Minggu pagi. Berbeda dengan suasana malam hari yang kerap diidentikkan dengan malam bahagia (malam pacaran), dipagi hari terutama hari minggu justru dijadikan tempat ini sebagai sarana olahraga baik kegiatan senam pagi maupun sekadar jalan santai bersama anggota keluarga, kerabat, maupun rekan kerja. Meskipun tujuan kunjungan sedikit menunjukkan perbadaan pada malam dan pagi hari terutama Minggu, namun tetap menyisakan kemiripan suasana terutama aktivitas jual beli makanan dan minuman serta hiburan para pengamen.

Kerinduan orang akan suasana Pantai Losari  dengan ragam fasilitas menarik yang dimiliki, tidak hanya pada wajahnya sekarang yang telah dihias dengan kosmetik modern dalam wujud revitalisasi (atau relokasi). Akan tetapi, banyak orang sesungguhnya juga rindu sambil bertanya dalam hati seperti apa wajah Losari dimasa lampau. Kepenasaran ini, setidaknya sedikit akan terobati oleh sebuah potret Losari tempo dulu yang masih terpajang rapi pada dinding bersejarah di Museum Kota Makassar hingga sekarang.

Bersama  deretan masa dan untaian waktu, Losari pun tampil dengan aneka “wajah” bahkan “paras” alaminya yang khas, tidak jarang harus berubah seiring dengan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, menurut catatan sejarah bahwa trotoar di tempat ini telah hilang sepanjang 5000 meter untuk keperluan pemondokan dan pengembangan komersil. Pada masa Kolonial Belanda, tempat ini dinamakan Logeren atau to lodge (untuk menginap). Selama masa administrasi kolonial Belanda, di pantai ini merupakan barak angkatan perang untuk Sulawesi Utara dan Maluku. Karena secara lokal namanya sulit dilafalkan, maka penyebutannya menjadi Losari.

Roda waktu pun terus bergulir dan wajah Losari terus mengalami perubahan. Penampilan seperti sekarang, telah dimulai sejak 1930-an ditandai oleh pembangunan pondasi sepanjang 910 meter. Sembilan tahun lebih telah berlalu sebelum trotar kaki lima ditambahkan, di tempat ini juga dihias oleh tanaman pohon palem, dekorasi, dan perhiasan pada 1965.

Dalam beberapa dekade, Losari juga pernah kesohor sebagai tempat menjual ikan basah yang baru ditangkap oleh para nelayan. Paralel dengan itu, ciri khas Losari dengan pisang epek dan gerobak dorongnya serta jenis makanan tradisional lainnya sebagaimana tampak sekarang sudah menjadi pemandangan lumrah sejak dulu.

Memasuki 1988, sekira 254 penjual yang kerap menawarkan berbagai jenis menu makanan di Losari lalu mendapat izin untuk mengelola jualannya dengan tempat yang permanen ada trotoar sepanjang pantai itu. Sejak saat itulah Losari menunjukkan wajah khasnya laksana restoran yang memanjang dari ujung utara ke selatan (atau sebaliknya) dan pada gilirannya mendapat predikat sebagai restoran terpanjang di dunia. Karena itu, aroma berbagai masakan tampak tercium saat melintasi jalan sepanjang pantai Losari dan mengajak secara metafor setiap orang untuk mampir menikmatinya.

Kecintaan dan kebebasan orang untuk menjadikan Pantai Losari sebagai tempat santai bersama keluarga, kerabat, maupun teman istimewa, konon merupakan warisan kebiasaan sejak zaman dahulu. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda pun telah menjadikan Losari sebagai tempat santai meskipun suasananya tidak sama dengan kondisi sekarang.

Setelah melihat Losari dalam dua dimensi waktu yakni lampau dan sekarang, lalu bagaimana wajah Losari masa mendatang?. Akankah ia tetap dijadikan sebagai tempat yang menarik untuk dikunjungi tentu saja hanya waktu dan realita sebagai pemegang otoritas untuk menjawabnya.(ph)

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Karya Tulis Ilmiah Populer

Polongbangkeng: Heroisme Yang Diabadikan

Published

on

POLONGBANGKENG adalah istilah yang tidak asing terutama bagi masyarakat yang berdomisili di Kota Makassar, Gowa, Takalar, dan sekitarnya. Mengapa? Ia adalah nama dari salah satu kecamatan yang berada di wilayah administratif Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Akan tetapi, apakah kita mengetahui bahwa di balik nama ini menyimpan sejarah heroisme masyarakat lokal?.

Sejarah mencatat bahwa istilah Polongbangkeng berhubungkait dengan sebuah peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Tumapakrisi Kallonna. Suatu ketika Gowa menyerang Karaeg LoE ri Bajeng yang diawali dengan merebut Kalompoang yang dikuasai Karaeng LoE. Akibatnya, tempat penyimpanan benda-benda pusaka (Kalompoang) tersebut dimusnahkan.

Mengetahui rajanya mengalami luka-luka dalam insiden penyerangan tersebut, maka terpanggilah jiwa orang-orang Bajeng untuk ikut berjuang melakukan perlawanan. Meskipun begitu, kekuatan Gowa yang sulit tertandingi itu menyebabkan orang-orang Bajeng harus pasrah menerima kekalahan dengan segala konsekuensinya.

Beberapa keterangan menyebutkan bahwa dalam pertempuran tersebut, Karaeng LoE ri Bajeng tidak berhasil ditangkap bahkan dikabarkan hilang. Sementara itu, orang-orang Bajeng yang berhasil ditangkap dan menjadi tawanan, selanjutnya dibawa ke Gowa yang masing-masing ditempatkan di Limbung, Pammate-Ballo, dan Mata-Allo. Laskar Gowa yang mengalami kemenangan dalam perang itu, lalu menamakan orang-orang Bajeng dengan sebutan Tupolong Bangkeng (Makassar: orang-orang patah kakinya).

Setelah suasana lebih kondusif pascapertempuran, Raja Gowa menunjuk Karaeng LoE di Malewang untuk menjalankan pemerintahan di Bajeng. Gelarnya diturunkan menjadi Batang Banoa Malewang yang kemudian mempunyai kewajiban untuk menyiapkan laskarnya dalam setiap perlawanan yang melibatkan Gowa. Sebagai bukti, saat Gowa menyerang Raja Parigi dan Sappaya, ia membantu dalam bentuk pengiriman laskar.

Pengabadian istilah Polongbangkeng terbukti sejak diangkatnya Kebo’ Daeng Manjarreki menjadi Karaeng Polongbangkeng yang pertama atas persetujuan Kompeni Belanda. Beliau adalah cicit Karaeng LoE Malewang yang pernah ditunjuk sebagai Batang-Banoa oleh Raja Gowa.

JIka merujuk pada data O.M. Goedhart (1920), Polongbangkeng dahulu terdiri atas 4 persekutuan hukum yang otonom. Wilayah ini masing-masing diperintah oleh Karaeng LoE ri Bajeng, Karaeng Malewang, Karaeng Pangkalang, dan Karaeng Lassang.(red)

[Sumber: Majalah Versi/Dari berbagai sumber]

Continue Reading

Karya Tulis Ilmiah Populer

Narasi Oemar Bakrie: Sosok Guru dalam Lipatan Waktu

Published

on

MEMBINCANG tentang istilah guru dalam arti luas, maka asosiasi pemikiran kita akan tertuju pada beragam kisah tentang aktor-aktor berjasa yakni para kontributor penting yang memiliki andil bagi proses pembentukan karakter generasi penerus. Demikian penting dan berharganya peran guru bagi masa depan suatu masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga profesi ini sering dianggap sebagai elit strategis. Bahkan tidak jarang muncul gurauan yang menyebutkan bahwa sebenarnya di dunia ini hanya ada dua profesi yakni pertama adalah guru dan kedua adalah lain-lain. Hal ini mengindikasikan bahwa guru memang merupakan top profesi yang fungsi dan kedudukannya, ia mencipta profesi-profesi lainnya.

Tentu belum hilang dalam ingatan kolektif kita akan sebuah cerita yang entah diperkenalkan oleh seorang kutu buku atau siapapun ia tentang Kaisar Hirohito di Jepang yang terkenal sangat menghargai peran/jasa seorang guru. Tatkala ini berpidato di hadapan para aparat pemerintah dan rakyat di negaranya, kaisar bernama lengkap Michinomia Hirohito ini pertama-tama menanyakan perihal masih berapa banyak guru yang hidup di Jepang pasca Perang Dunia II?. Pertanyaan ini lalu mengundang reaksi dari dari para anggota militer dan salah seorang di antaranya pun menyoal mengapa justru guru yang dipertanyakan, bukannya masih berapa banyak tentara Jepang yang masih hidup?. Kaisar Hirohito secara bijak pun menjawab bahwa bukannya ia tidak menghargai profesi lain, tapi menurutnya dengan fungsi strategis gurulah Jepang dapat dibangun di masa mendatang.

Dalam berbagai literatur maupun sejarah Nusantara, juga mengkisahkan betapa pentingnya peran para guru dalam mencetak generasi penerus. Karena itu, seorang putra mahkota biasanya dipercayakan oleh sang raja untuk dididik oleh seorang “guru” berbagai hal mulai dari pendidikan etika, kriteria pemimpin ideal, hingga dasar-dasar pengetahuan mengenai sistem pemerintahan. Dengan demikian, masa depan kerajaan atau kekuasaan sedikit banyaknya sangat ditentukan oleh bekal pendidikan sanga putra mahkota yang telah diberikan guru yang menggemblengnya sejak usia dini. Bahkan sosok raja pun memiliki “guru spiritual” yang biasanya dijadikan sebagai penasihat tatkala ia dihadapkan pada berbagai persoalan rumit menyangkut tugasnya sebagai pemimpin.

Dua cuplikan kisah singkat tersebut menunjukkan betapa peran guru menempati peran stategis sebagai determinan penentu bagi masa depan generasi dan bahkan umat manusia sekalipun. Meski begitu, peran strategis guru tersebut secara historis memiliki dinamika dan cerita menarik diungkapkan sebelum profesi ini dikembalikan pada porsi yang seharusnya terutama sejak diberlakukannya pemberian tunjangan profesi bagi para guru yang telah mengantongi sertifikat pendidik.

Mari kita tengok penggalan-penggalan kisah tentang eksistensi guru di Sulawesi Selatan tempo dulu yang kemungkinan memiliki keserupaan dengan cerita guru di daerah lain. Kita tentu masih ingat masa di mana gelar BA (Bachelor of Art) pernah populer namun masih langka di desa. Para orang tua menasihati anak-anak mereka agar menghormati dan hati-hati jika berbicara dengan guru yang bergelar BA tersebut. Hal ini merefleksikan bahwa kesan masyarakat akan profesi guru demikian terhormatnya, berikut munculnya sapaan perhormatan kepada para guru di tengah masyarakat yakni pak guru atau tuan guru (Tang Guru, Selayar).

Ilustrasi. Foto: Pixabay

Di balik cerita manis tentang guru tersebut, rupanya menyimpan sederet cerita memilukan dan memperihatinkan tentang eksistensinya. Saya masih ingat akan kisah seorang ibu yang anak perempuannya terkenal rewel dan gemar menangis di pelosok Kepulauan Selayar tempo dulu. Saat ia hendak menghentikan tangisan anaknya, sang ibu berkata: “he, tidak mauko diam. Kukasi kawinko itu sama guru!”. Sang anak yang enggan kawin dengan guru pun diam. Dapat dibayangkan bagaimana kesan masyarakat akan kedudukan guru waktu itu yang ditakuti sekaligus sebagai sosok yang tidak didambakan.

Kisah sedih tentang guru lainnya juga dapat diketahui melalui cerita tentang kecenderungan sebagian masyarakat “enggan menerima” guru bertamu di rumahnya. Seorang guru telat pulang dan sedang berjalan menyusuri jalan desa di sore hari sambil membawa sebuah map berisi kertas-kertas tugas muridnya, malah dianggap akan datang dan bertamu di rumah warga untuk meminta sumbangan. Akhirnya, mereka pun yang melihatnya dari jauh segera bergegas menutup pintu atau menciptkan suasana rumah tak ubahnya seperti tidak ada penghuni.

Hal ini tentu saja sudah berbeda dengan kondisi sekarang, di mana kedudukan guru seakan kembali menjadi top profesi. Kini, banyak orang mendambakan menjadi seorang guru. Singkatnya, peran guru (baik guru di lembaga pendidikan formal maupun guru secara umum, menempati posisi sentral yang menjadi determinan kuat dalam menentukan masa depan suatu bangsa.

Makassar, 13 Septermber 2016

*Penulis, Ahmadin Umar, Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNM

Continue Reading

Karya Tulis Ilmiah Populer

Hikayat Sang Bissu: Apakah Pendeta Bugis Ini Akan Punah?

Published

on

JUDUL di atas merupakan gambaran ekspresif dari kegelisahan kultural, sekaligus wujud keperihatinan sosial atas eksistensi Bissu dewasa ini. Betapa tidak, guru spiritual dan rujukan ritual dari perikehidupan manusia Bugis-Makassar sejak dulu, kini mengalami dilema pada prospeknya seiring terjadinya perubahan orientasi nilai pada masyarakat yang telah mencap dirinya modern.

Sanggupkah mereka mempertahankan eksistensi dan terus merawat warisan budaya Bugis-Makassar di antara kurangnya perhatian banyak pihak? Haruskah ketidakpedulian bersama akan mengantar komunitas langka ini pada kepunahannya? Dua pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi bagian integral tak terceraikan dari kesadaran berbangsa dan bernegara kita hari ini serta masa yang akan datang.

Hal ini penting karena warisan budaya adalah salah satu ikon menarik selain fanorama alam, yang mengundang hasrat orang-orang Barat/asing datang ke Indonesia. Lalu apa artinya sebuah kebanggaan jika hanya sebatas sebagai pemilik warisan budaya dan bukannya sebagai penikmat. Dari sinilah sesungguhnya proses penyadaran akan pentingnya eksistensi Bissu sebagai aset bangsa dan kekayaan budaya lokal Sulawesi Selatan hendak diurai.

Salah satu kendala fundamental yang menjadi pemicu sulitnya para Bissu mewujudkan eksistensi adalah persoalan ketidaktahuan serta ketidakingintahuan banyak kalangan atas hakikat keberadaan mereka. Akhirnya, berbagai prasangka buruk pun kerap dituduhkan padanya secara sadis oleh pihak-pihak yang merasa dirinya seperti malaikat suci tak berdosa. Bahkan tidak jarang ruang-ruang sosial para Bissu dikekang dan hak-hak kultural mereka dikebiri atas nama prinsip ideologi tertentu dengan menggunakan tafsir tunggal.

Sejarah seharusnya menyadarkan kita, betapa para Bissu telah menorehkan warna khas pada setiap lapis waktu perjalanan panjang kehidupan umat manusia di Tanah Bugis-Makassar. Sebagai kaum yang dianggap suci (baca: Bissu dari kata Bessi atau mabessi=bersih), para bissu dianggap sebagai penghubung antara langit dengan bumi sehingga bahasa mereka disebut basa ri langi’. Dengan kata lain melalui peran bissu, manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para Dewa yang bersemayam di langit.

Dalam sistem pemerintahan tradisional dahulu, kedudukan Bissu juga sangat penting yakni sebagai penasihat para raja. Demikian pentingnya peran mereka sehingga keberadaannya dilukiskan dalam ungkapan Bugis: “degaga raja narekko degaga bissu” (tidak akan dilantik raja tanpa bissu). Peran Bissu sebagai pihak yang dekat dengan penguasa (raja), juga tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat Bugis tentang awal mula kehadirannya yang diyakini bersamaan dengan turunnya Batara Guru dari langit ke bumi. Bissulah yang dianggap sebagai sosok manusia yang memiliki banyak kelebihan dan dipercaya mampu mengatur kehidupan di jagad raya ini, sekaligus menjadi lokomotif bagi terciptanya institusi sosial dalam masyarakat Bugis periode awal.

Sosok manusia pemilik unsur gender ganda (laki-laki dan perempuan) ini, juga memiliki andil penting terhadap terselenggaranya pelbagai kegiatan ritual, mulai dari upacara kehamilan, kelahiran, sunatan, perkawinan, hingga kematian. Selain itu, para Bissu juga berperan penting dalam rangkaian pelaksanaan upacara tolak bala (untuk mencegah terjadinya bencana dan penyakit) serta pemenuhan nazar sebagai tradisi yang melekat kental pada kultur masyarakat Bugis-Makassar.

Meskipun demikian, peran penting Bissu dalam meniti eksistensinya sebagai tokoh spiritual dan ritual di tengah kehidupan masyarakat Bugis-Makassar secara periodik, tidak terlepas dari pelbagai pengalaman pahit yang mengancam keberadaannya. Sebut saja sejarah kelam para Bissu bermula sejak keyakinan dan kepercayaan mereka harus berpapasan dengan doktrin Islam dan dibenturkan antara satu dengan lainnya. Betapa tidak, kepercayaan Bissu yang dianggap bermuatan animisme dan dinamisme, diklaim berseberangan secara diametral dengan ajaran Islam yang kaffah.

Konsekuensinya, tindak pembencian secara kolektif pun digelar sehingga tampaklah seakan para Bissu merupakan musuh bersama yang harus dilawan dan dibasmi. Kenyataan seperti ini tampak pada era 1950-an saat Gerombolan DI/TII yang mengusung misi dan mengibarkan bendera Islam dalam gerakannya, secara sadis melakukan pembantaian terhadap kelompok Bissu yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.  Bahkan di era 1965, para Bissu juga dicap secara labeling sebagai pihak yang menganut faham komunis dan bahkan keberadaan mereka dianggap sebagai pembawa sial yang mutlak dihindari oleh siapa pun.

Pelbagai pengalaman pahit yang dialami serta munculnya aneka tekanan dari berbagai-bagai pihak, mendorong para Bissu menarik diri dari panggung budaya pada ranah publik. Mereka memilih menyingkir dari realitas sosial dan bersembunyi di tepi sunyi dalam makna kultur individual serta berusaha mewujudkan eksistensi secara involutif. Akhirnya, hanya sisa-sisa Bissu dari korban kekejaman masa lampau yang masih dapat kita temukan hari ini.

Jika kita sepakat bahwa Bissu merupakan aset bangsa yang perlu dilestarikan, maka diperlukan sentuhan kebijakan pemerintah untuk membina mereka secara berkelanjutan sehingga terbebas dari ancaman kepunahan. Eksistensi mereka, bahkan memerlukan legitimasi hukum, sehingga terbebas dari rongrongan dan usikan pihak-pihak tertentu. Selain itu, harusnya posisi Bissu sebagai komunitas khusus yang langka di era modern, kedudukannya sama penting dengan situs maupun benda-benda cagar budaya yang telah dilindungi secara hukum dan bukan sebaliknya membenci apalagi mengafirkannya.

[Dimuat di Harian Fajar, 02 September 2012 dengan judul “Akankah Bissu Punah?”]

Ilustrasi. — Foto: goodnewsfromindonesia

*Penulis: Ahmadin, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar (UNM)

Continue Reading

Trending