JUDUL yang bermakna Makassar Penuh Harapan di atas, merupakan tagline atau ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang belum lama ini dilaunching. Peluncuran semboyan yang digelar bersamaan dengan peringatan hari jadinya yang ke-398, 2 November 2005 tersebut, oleh banyak pihak dianggap sebagai spirit baru dan langkah maju yang cukup prospektif dalam membuktikan kepada orang lain bahwa ternyata Makassar memang beda. Dibalik itu semua tidak sedikit pula orang yang justru pesimis menyambut brand tersebut dan menganggapnya konsep pasif yang diragukan implementasi serta relaitasnya. Bahka lebih dari itu ada anggapan yang menyebut slogan ini telah ‘tercabut’ dari akar budaya sendiri.
Aneka anggapan dan persepsi mengenai tagline tersebut, jika kita mau berjiwa besar tidak perlu disedihkan sebaliknya menerimanya secara logis seperti ketika memaklumi secara kultural tentang pluraitas atas ragam etnis yang menghuni kota ini. Meskipun demikianm perbedaaan sudut pandang memaknai “Makassar Great Expectation”, bukan pengaruh etnisitas. Sebaliknya pijakan pemikiran yang melandasi lahirnya persepsi itulah yang berbeda, sehingga menyamakan persepsi itulah tugas bersama.
Pertama, pandangan optimis akan prospek Makassar dan keinginan kuat menjadikannya sebuah kota yang penuh harapan, tentu saja datang dari jajaran pemerintah kota dan tim perancang dari Makassar Profesional. Dari pihak-pihak inilah lahir gagasan tentang spirit baru Makassar yang sudah barang tentu masing-masing mengantongi visi dan misi (meski masih sebatas wacana). Dengan demikian, ketika kita bertanya pada orang-orang yang terlibat langsung dalam proses penggodokan gagasan baru ini, maka sudah pasti mereka bisa menjelaskannya sedetail mungkin.
Tapi bagaimana jika arah pertanyaan mengenai tagline ditujukan kepada orang-orang yang berada di luar tim perancang tersebut? Apakah mereka juga mampu memahami setelah sebulan lamanya setelah diluncurkan. Bahkan akan lebih ironis lagi (semoga tidak) jika teryata dalam jajaran pemerintah kota sendiri, masih ada yang kurang mengerti atau masih kabur dengan spirit baru ini.
Kedua, pihak yang memandang tagline ini pesimis dan tidak lebih hanya sebuah wacana, berangkat dari kekaburan dan masih samar-samarnya pemahaman tentang konsep ini. Harapan-harapan apa yang ada pada Makassar dan apa pula yang berbeda (khas), sehingga harus mengundang orang luar untuk datang dan menceritakan tentang Makassar. Variabel dan indikator itulah yang peru didefinisioperasionalkan sehingga orang-orang terhindar dari kesimpangsiuran dalam memaknainya. Selain itu, penyebabnya juga bersumber dari deretan realitas yang membentang di hadapan masyarakat bahwa pengembangan kota yang berbasis kerakyatan sejauh ini belum berhasil diwujudimpelemtasikan.
Ketiga, pesimisme yang lahir karena didasarkan pada pemikiran akan dan telah tercabutnya akar budaya sendiri dari taman konsep akibat pemiliknya enggan menyiram dan lebih tergiur oleh indahnya kembang di luar taman. Maksudnya bahwa penggunaan semboyan dengan istilah asing, dipahami sama artinya dengan kebangaan akan idiom atau ungkapan lokal telah memudah secara gradual. Hal in sekaligus merupakan warning akan bahaya tersingkirkannya ke pinggir kebanggaan kultural kita karena desakan westernalisasi (pembaratan) dalam penggunaan istilah. Meski demikian, bukan berarti bahwa kita harus alergi dengan kata asing, tetapi sebaliknya hanya mengadopsi sebagai istilah pelengkap/pendamping sebagai pengayaan istilah.
Di tengah pro-kontra dalam wajah optimis dan pesimis dalam menyambut spirit baru (jika dapat dikatakab demikian) kota Makassar, ada fenomena menarik yang perlu diletakkan sebagai wacana di atas wacana “Makassar Great Expectaion”. Persoalan yang dimaksud adalah kegelisahan kultural yang dieluhkan oleh salah seorang budayawan Sulawesi Selatan, Ishak Ngeljaratan. Dalam sebuah talkshow yang digelajar di Warung Kopi Phoenam (8/12/2005) lalu, ia menolak logo Makassar. Alasan utama yang dikemukakan melalui talkshow yang digelar bersama Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin tersebut, yakni karena kata tersebut dianggap tidak realistik dan mengambang.
Selain itu, menurut Ishak Ngeljaratan (Fajar, 9/12/2005) bahwa seharusnya mengambil brand harus berangkat dari budaya sendiri dan mengakomodir home-nya Makassar. Sebagai contoh ia menyerukan pentingnya makna Siri’ (harga diri) yang memiliki makna ganda yakni malu berbuat tidak adil, tidak jujur, dan berbohong. Kemudian Siri’ juga bermakna malu untuk tidak berbuat kebaikan. Fenomena ke arah memarginalkan budaya sendiri, rupanya dibantah secara apologik oleh walikota Makassar bahwa penggunaan logo gambar ayam jantan bermakna tidak meninggakan budaya Bugis-Makassar.
Mencermati keinginan kuat pemerintah kota untuk menjadikan Makassar penuh harapan dengan menjadikan semboyan berlabel bahasa asing tersebut, dalam kacamata budaya memang kelihatan kurang familiar. jangan untuk mengingat, melafalkan saja sudah susah apalagi ingin mengeimplementasikannya.
Selama beberapa waktu lamanya, bukankah kota tercinta ini telah memiliki sejumlah nama gelar. seperti: Kota Anging Mammiri, Kota Daeng, dan Kota Teduh Bersinar. Dua nama pertama mencerminkan simbol budaya dalam bentuk adopsi istilah Bugis-Makassar, sedangkan nama berikutnya meki tidak menggunakan istilah lokal tetapi tetap menggunakan bahasa Indonesia.
Coba kita tengah beberapa daerah yang memiliki kecenderungan mengadopsi warisan budaya sekaligus pengabadian kearifan lokal, seperti: Maros dengan “Butta Salewangang”, Bataeng (Butta Toa), Bulukumba (Butta Panrita Lopi), Enrekang (Massenrengpulu), Selayar (Tana Doang), dan nama berciri lokal lainnya. Meski hal ini tampak hanya sebagai label, namun berdasarkan perspektif teori interasksionisme simbolik, hal ini merupakan proses awal dari sebuah upaya pengenalan atas makna simbolik dari istilah ini.
Selain itu, tanpa mengurangi rasa hormat kita pada niat baik pemerintah kota untuk membuat Makassar ini lebih ‘layak jual’ dengan slogan asingnya, hal yang perlu didiskusikan lebih jauh yakni apakah ukuran utama untuk tampil kompetitif itu mutlak adalah penggunaan bahasa asing?. Jika hal ini diamini, maka tentu saja kurang tepat dan bahkan cenderung keliru.
Coba kita tengok bagaimana seorang Cristian Pelras jatuh dengan dengan budaya Bugis, Shelly Erington mengagumi nilai-nilai siri’, Leonard Andaya tertarik dengan ikwal kebugisan yang ia beri label Warisan Arung Palakka, Cristian Heersink yang bersemangat mengulas perihal keopuan di Selayar, dan lainnya.
Ketertarikan pada peneiti asing ini menunjukkan bahwa hak-hal yang khas bukankah jauh lebih berharga dibandingkan dengan hal-hal yang modern. Untuk itu, upaya menjadikan Makassar penuh harapan adalah menghidupkan kembali nilai-nilai lokalitas (kearifan lokal) sehingga ini menjadi pembeda dengan kota lain. Mengapa bukan hakikat siri’ yang dijadikan unsur pembentuk sebuah semboyan sekaligus makna filosofisnya.
Nah… untuk menyongsong event akbar kepariwisataan Nopember mendatang, kita tidak akan mengenalkan kota ini dengan kalimat “Ini Kota Baru” dengan sejumlah sentuhan ornamen modernitas. Sebaliknya, menunjukkan “Ini Baru Makassar” yang dibungkus dengan budaya sendiri.
[Dimuat di Harian Fajar, 19 Desember 2005]