Connect with us

Uncategorized

Menengok Praktik Judi Massal di Macau

Published

on

MACAU, CHINA — Las Vgas-nya Asia , itulah julukan populer bagi eksistensi Macau sebuah kota maju yang dibangun dari kontribusi pariwisata dan sarana judi (kasino). Kota kecil yang terletak di pesisir selatan Tiongkok ini masyarakatnya berbahasa Kantonis, Mandarin, dan Portugis. Macau sebagai daerah administratif khusus RRC, menggunakan mata uang Pataca (MOPS).

Jangan lupa bahwa bahwa Dollar Hong Kong dapat diterima di Macau. Tidak seperti sebaliknya, Dollar Macau tidak diterima di Hong Kong. Untuk itu, biasanya kita disarankan agar uang dollar Macau segara digunakan berbelanja sebelum kembali ke Hong Kong.

Lalu mengapa kota kecil yang terletak 70 km sebelah barat daya Hong Kong dan 145 km dari Guangzhou ini dijuluki Las Vegas? Banyak argumentasi mengenai hal itu antara lain mungkin karena sarana perjudian, pusat perbelanjaan, dan hiburan di Macau yang diidentifikasi sama dengan karakteristik Las Vegas, sebuah kota terpadat di bagian Nevada, Clark Country, Amerika Serikat.

Macau selain kesohor dengan obyek wisata belanjanya, ia juga ternama karena fenomena atraktif kasinonya. Siang itu (Kamis, 02/11/2017) aku berada di antara padatnya pejalan kaki dari area parkir menuju ke dalam sebuah pusat perbelanjaan. Mereka tampak berjalan dengan langkah yang cukup cepat seperti sedang memburu sesuatu di dalam atas sana.

Ternyata dugaanku tidak salah. Mereka begegas menuju ruangan yang seperti aula itu karena ingin lekas menyaksikan atau mungkin tidak sabar lagi ingin menikmati permainan judi. Di antara meja-meja judi yang menghiasi ruang pusat perbelanjaan dan hotel tersebut, kulihat sangat ramai. Pemain judi tidak hanya kaum lelaki, tapi juga banyak sekali kaum perempuan. Mereka sangat menikmati permainan judi tersebut.

Aku sangat tertarik dan penasaran dengan fenomena judi massal itu, meski sama sekali tidak memiliki hasrat untuk turut bermain. Aku berdiri di antara para penonton di salah satu meja judi dan setelah itu pindah ke bagian lain serta seterusnya. Banyak sekali meja judi tampak di situ dan konon berjumlah 800 buah. Sementara itu, di ruang besar ini juga terdapat sebanyak 3400 mesin slot.

Di antara ekspresi wajah para penonton permainan judi tersebut aku lihat ada yang tampak sangat gembira riang dan ada juga bermuka lesu serta bahkan nyaris seperti sedang stress. Mimik wajah pertama sudah dipastikan merupakan cerminan sosok-sosok pemenang, sedangkan yang kedua adalah pihak yang kalah judi.

Satu hal menarik diketahui bahwa di tempat ini kita dapat menikmati minuman air mineral secara gratis sehingga tidak perlu mengeluarkan uang. Cukup mengambil minuman di meja judi tersebut, rasa haus kita sudah bisa terobati.

Aku meraih sebotol minuman air mineral di atas meja itu lalu meminumnya dan kulihat seseorang melihatku dengan senyuman serta diiringi anggukan. Setelah itu ia kembali larut dalam suasana tontonan perjudian itu.

Meski begitu fenomena atraktif judi massal yang menarik itu, sulit didokumentasikan dalam bentuk gambar atau video. Mengapa? memasuki kasino di Macau, dilarang menggunakan kamera. Larangan itu adalah aturan yang mesti dipatuhi setiap pengunjung ke lokasi perjudian di Macau ini.

“Mohon saudara-saudara tidak menggunakan memotret atau merekam baik melalui kamera atau ponsel. Jika ini dilakukan dan ketahuan, bisa berakibat fatal yakni kamera kita diambil atau disita oleh petugas”, begitulah himbauan yang disampaikan sang guide sebelum kami masuk ke gedung itu.

Setelah cukup lama berada di antara meja-meja perjudian itu, aku bersama teman menuju ke sebuah pusat belanja satu lantai di atasnya. Aku cukup menikmati pemandangan nan indah di dalam hotel ini, terutama sebuah reflika kanal yang dapat digunakan para pengunjung naik perahu.

Seperti tampak pada gambar yang aku jepret sendiri saat berada di hotel itu, para pengunjung sangat menikmati fasilitas tersebut. Di sisi kanal dalam hotel itu, tampak seorang lelaki memainkan gitarnya dengan cukup bersemangat dan menghibur para pengunjung. Melalui petikan gitar klasik, ia melantunkan lagu-lagu nostalgia bertema cinta.

Interior Venetian Hotel & Resort, sekaligus pusat perbelanjaan terbesar di Macau, Cina ini didesain sangat menarik dan mempesona. Tidak perlu ke Italia jika hanya ingin menikmati pemandangan Venesia berikut perahu Gondola sebagai sarana transportasi khasnya. Cukup menyaksikan semuanya di hotel ini.

Satu lagi, jangan lupa bahwa Godolier atau pengayuh perahu tersebut, konon didatangkan langsung dari Eropa. Singkatnya, pemerintah Macau berprinsip bahwa cukup berada di negerinya para wisatawan sudah bisa menikmati suasana Las Vegas, kota terpadat di negara bagian Nevada dan pemandangan menakjubkan di Kota Venesia di Italia.

Sebuah ide menarik untuk pengembangan kawasan wisata. Meski begitu, hari sudah mulai beranjak sore yang berarti kami harus meninggalkan pusat belanja dan hiburan ini.

Tak ada lagi agenda kunjungan sore itu karena jam sudah menunjuk pukul 17.00 waktu Macau. Dari sini aku dan teman-teman menuju sebuah restoran untuk makan malam dan setelah itu menuju hotel tempat kami menginap.**

*** Catatan perjalanan di Macau, Cina pada 2 Nopember 2017.

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Uncategorized

Wisata Ojek Perahu di Dongkalang Kepulauan Selayar

Published

on

KEPULAUAN SELAYAR – Kabupaten Kepulauan Selayar memiliki banyak obyek wisata pantai yang menarik. Salah satunya adalah Dongkalang yang berada di wilayah administratif Desa Bontobarusu Kecamatan Bontoharu. Dari Kampung Padang kita dapat menyeberang ke Dongkalang dengan menumpang ojek perahu jenis Joloro.

Dari Kampung Padang ke Dongkalang dapat ditempuh sekira 5 hingga 7 menit.

Selengkapnya…..

Continue Reading

Uncategorized

Menyoal Kontroversi Slogan Makassar Great Expectation

Published

on

JUDUL yang bermakna Makassar Penuh Harapan di atas, merupakan tagline atau ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang belum lama ini dilaunching. Peluncuran semboyan yang digelar bersamaan dengan peringatan hari jadinya yang ke-398, 2 November 2005 tersebut, oleh banyak pihak dianggap sebagai spirit baru dan langkah maju yang cukup prospektif dalam membuktikan kepada orang lain bahwa ternyata Makassar memang beda. Dibalik itu semua tidak sedikit pula orang yang justru pesimis menyambut brand tersebut dan menganggapnya konsep pasif yang diragukan implementasi serta relaitasnya. Bahka lebih dari itu ada anggapan yang menyebut slogan ini telah ‘tercabut’ dari akar budaya sendiri.

Aneka anggapan dan persepsi mengenai tagline tersebut, jika kita mau berjiwa besar tidak perlu disedihkan sebaliknya menerimanya secara logis seperti ketika memaklumi secara kultural tentang pluraitas atas ragam etnis yang menghuni kota ini. Meskipun demikianm perbedaaan sudut pandang memaknai “Makassar Great Expectation”, bukan pengaruh etnisitas. Sebaliknya pijakan pemikiran yang melandasi lahirnya persepsi itulah yang berbeda, sehingga menyamakan persepsi itulah tugas bersama.

Pertama, pandangan optimis akan prospek Makassar dan keinginan kuat menjadikannya sebuah kota yang penuh harapan, tentu saja datang dari jajaran pemerintah kota dan tim perancang dari Makassar Profesional. Dari pihak-pihak inilah lahir gagasan tentang spirit baru Makassar yang sudah barang tentu masing-masing mengantongi visi dan misi (meski masih sebatas wacana). Dengan demikian, ketika kita bertanya pada orang-orang yang terlibat langsung dalam proses penggodokan gagasan baru ini, maka sudah pasti mereka bisa menjelaskannya sedetail mungkin.

Tapi bagaimana jika arah pertanyaan mengenai tagline ditujukan kepada orang-orang yang berada di luar tim perancang tersebut? Apakah mereka juga mampu memahami setelah sebulan lamanya setelah diluncurkan. Bahkan akan lebih ironis lagi (semoga tidak) jika teryata dalam jajaran pemerintah kota sendiri, masih ada yang kurang mengerti atau masih kabur dengan spirit baru ini.

Kedua, pihak yang memandang tagline ini pesimis dan tidak lebih hanya sebuah wacana, berangkat dari kekaburan dan masih samar-samarnya pemahaman tentang konsep ini. Harapan-harapan apa yang ada pada Makassar dan apa pula yang berbeda (khas), sehingga harus mengundang orang luar untuk datang dan menceritakan tentang Makassar. Variabel dan indikator itulah yang peru didefinisioperasionalkan sehingga orang-orang terhindar dari kesimpangsiuran dalam memaknainya. Selain itu, penyebabnya juga bersumber dari deretan realitas yang membentang di hadapan masyarakat bahwa pengembangan kota yang berbasis kerakyatan sejauh ini belum berhasil diwujudimpelemtasikan.

Ketiga, pesimisme yang lahir karena didasarkan pada pemikiran akan dan telah tercabutnya akar budaya sendiri dari taman konsep akibat pemiliknya enggan menyiram dan lebih tergiur oleh indahnya kembang di luar taman. Maksudnya bahwa penggunaan semboyan dengan istilah asing, dipahami sama artinya dengan kebangaan akan idiom atau ungkapan lokal telah memudah secara gradual. Hal in sekaligus merupakan warning akan bahaya tersingkirkannya ke pinggir kebanggaan kultural kita karena desakan westernalisasi (pembaratan) dalam penggunaan istilah. Meski demikian, bukan berarti bahwa kita harus alergi dengan kata asing, tetapi sebaliknya hanya mengadopsi sebagai istilah pelengkap/pendamping sebagai pengayaan istilah.

Di tengah pro-kontra dalam wajah optimis dan pesimis dalam menyambut spirit baru (jika dapat dikatakab demikian) kota Makassar, ada fenomena menarik yang perlu diletakkan sebagai wacana di atas wacana “Makassar Great Expectaion”. Persoalan yang dimaksud adalah kegelisahan kultural yang dieluhkan oleh salah seorang budayawan Sulawesi Selatan, Ishak Ngeljaratan. Dalam sebuah talkshow yang digelajar di Warung Kopi Phoenam (8/12/2005) lalu, ia menolak logo Makassar. Alasan utama yang dikemukakan melalui talkshow yang digelar bersama Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin tersebut, yakni karena kata tersebut dianggap tidak realistik dan mengambang.

Selain itu, menurut Ishak Ngeljaratan (Fajar, 9/12/2005) bahwa seharusnya mengambil brand harus berangkat dari budaya sendiri dan mengakomodir home-nya Makassar. Sebagai contoh ia menyerukan pentingnya makna Siri’ (harga diri) yang memiliki makna ganda yakni malu berbuat tidak adil, tidak jujur, dan berbohong. Kemudian Siri’ juga bermakna malu untuk tidak berbuat kebaikan. Fenomena ke arah memarginalkan budaya sendiri, rupanya dibantah secara apologik oleh walikota Makassar bahwa penggunaan logo gambar ayam jantan bermakna tidak meninggakan budaya Bugis-Makassar.

Mencermati keinginan kuat pemerintah kota untuk menjadikan Makassar penuh harapan dengan menjadikan semboyan berlabel bahasa asing tersebut, dalam kacamata budaya memang kelihatan kurang familiar. jangan untuk mengingat, melafalkan saja sudah susah apalagi ingin mengeimplementasikannya.

Selama beberapa waktu lamanya, bukankah kota tercinta ini telah memiliki sejumlah nama gelar. seperti: Kota Anging Mammiri, Kota Daeng, dan Kota Teduh Bersinar. Dua nama pertama mencerminkan simbol budaya dalam bentuk adopsi istilah Bugis-Makassar, sedangkan nama berikutnya meki tidak menggunakan istilah lokal tetapi tetap menggunakan bahasa Indonesia.

Coba kita tengah beberapa daerah yang memiliki kecenderungan mengadopsi warisan budaya sekaligus pengabadian kearifan lokal, seperti: Maros dengan “Butta Salewangang”, Bataeng (Butta Toa), Bulukumba (Butta Panrita Lopi), Enrekang (Massenrengpulu), Selayar (Tana Doang), dan nama berciri lokal lainnya. Meski hal ini tampak hanya sebagai label, namun berdasarkan perspektif teori interasksionisme simbolik, hal ini merupakan proses awal dari sebuah upaya pengenalan atas makna simbolik dari istilah ini.

Selain itu, tanpa mengurangi rasa hormat kita pada niat baik pemerintah kota untuk membuat Makassar ini lebih ‘layak jual’ dengan slogan asingnya, hal yang perlu didiskusikan lebih jauh yakni apakah ukuran utama untuk tampil kompetitif itu mutlak adalah penggunaan bahasa asing?. Jika hal ini diamini, maka tentu saja kurang tepat dan bahkan cenderung keliru.

Coba kita tengok bagaimana seorang Cristian Pelras jatuh dengan dengan budaya Bugis, Shelly Erington mengagumi nilai-nilai siri’, Leonard Andaya tertarik dengan ikwal kebugisan yang ia beri label Warisan Arung Palakka, Cristian Heersink yang bersemangat mengulas perihal keopuan di Selayar, dan lainnya.

Ketertarikan pada peneiti asing ini menunjukkan bahwa hak-hal yang khas bukankah jauh lebih berharga dibandingkan dengan hal-hal yang modern. Untuk itu, upaya menjadikan Makassar penuh harapan adalah menghidupkan kembali nilai-nilai lokalitas (kearifan lokal) sehingga ini menjadi pembeda dengan kota lain. Mengapa bukan hakikat siri’ yang dijadikan unsur pembentuk sebuah semboyan sekaligus makna filosofisnya.

Nah… untuk menyongsong event akbar kepariwisataan Nopember mendatang, kita tidak akan mengenalkan kota ini dengan kalimat “Ini Kota Baru” dengan sejumlah sentuhan ornamen modernitas. Sebaliknya, menunjukkan “Ini Baru Makassar” yang dibungkus dengan budaya sendiri.

[Dimuat di Harian Fajar, 19 Desember 2005]

Continue Reading

Uncategorized

Ruang Imajiner Kampung Kuliner

Published

on

KOLAKA UTARA – Kawasan wisata kuliner merupakan salah obyek kunjungan yang banyak digandrungi orang khususnya para traveler dan pecinta wisata. Selain varian kulinernya yang menggoda, fanorama daerah sekitarnya pun selalu memikat banyak orang.

Kolaka Utara, sebuah kabupaten yang wilayah administratifnya membentang di sepanjang Teluk Bone bagian timur, pun memiliki destinasi wisata seperti itu. Kampung Kuliner, itulah nama kawasan wisata yang teletak di Desa Lanipa-nipa Kecamatan Lasusua (ibukota Kolaka Utara).

Posisi Kampung Kuliner ini sangat strategis karena terletak di sisi jalan by pass, yang merupakan jalur utama yang menghubungkan daerah bagian Selatan dan utara Lasusua, Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan jalan ini merupakan jalur yang dilalui kendaraan lintas provinsi baik melalui jalur penyeberangan Pelabuhan Siwa ke Tobaku, maupun lewat jalur melingkar di Malili (Sulawesi Selatan).

Selain itu, Kampung Kuliner yang secara resmi digunakan 20 Januari 2018 ini, juga terletak tidak jauh dari obyek wisata religi andalan masyarakat Kolaka Utara yakni Masjid Agung Lasusua. Kawasan Kampung Kuliner ini juga sangat memikat banyak orang untuk menjadikannya sebagai obyek fotografi dan berselfie ria.

Suasana dan pemandangan Kampung Kuliner Kota Lasusua, Kolaka Utara pun menjelma walpaper yang dijadikan…

Baca selengkapnya….

*Catatan perjalanan Ahmadin Umar di Kolaka Utara [Dimuat di Portal TebarNews]

Continue Reading

Trending