MEMBACA berita bertajuk “40 Profesor Gugat Nama Jalan Binatang di Makassar” (Saatnya Mengabadikan 7 Tokoh Sulsel) yang dimuat dalam Harian Tribun Timur edisi Kamis 02/05/15, menggugah keinginan saya untuk turut serta dan ikut ambil bagian dari rencana yang masih dalam taraf wacana ini. Pengajuan mengenai perubahan nama beberapa jalan di Kota Makassar yang dijukan oleh para guru besar kepada Walikota, Danny Pomanto dan ketua DPRD Makassar, Farouk M. Betta, setidaknya diilhami oleh beberapa alasan utama.
Pertama, berita di harian ini menyebutkan bahwa usul perubahan nama jalan di Makassar karena dinilai banyak yang tidak manusiawi. Hal ini terbukti dengan banyaknya nama jalan yang diambil dari binatang dan tetumbuhan. Akibatnya, dari nama jalan tersebut mengonstruksi istilah seperti Coto Gagak, Pallubasa Srigala, dan Pallubasa Onta di Makassar. Singkatnya, nafas utama dari hasrat ingin mengubah nama jalan ini adalah untuk “memanusiakan” tujuh ruas jalan.
Kedua, usul perubahan nama jalan ini berangkat dari alasan bahwa banyak tokoh berjasa yang nyaris dilupakan generasi muda karena namanya tidak terngiang lagi. Untuk maksud tersebut maka beberapa nama tokoh yang diusulkan sebagai pengganti nama jalan tersebut yakni Prof KH Abdurrahman Shihab, KH Fadeli Lurang, Prof Dr A Amiruddin, Prof E A Mokodompit, MA, Brigjen H.A. Mattalatta, KH Jamaluddin Amin, dan Drs KH Muhyidin Zain.
Ketiga, dasar dari usul perubahan nama itu adalah untuk memperlihatkan kesan pendidikan kepada masyarakat serta kepentingan pembinaan generasi muda. Hal ini didasarkan atas argumentasi pentingnya pelestarian nilai-nilai luhur yang telah ditunjukkan dan diamalkan oleh para tokoh selama hidupnya di daerah kita. Bahkan lebih jauh nama-nama jalan dari binatang dan tetumbuhan tersebut dianggap tidak mempunyai dasar historis.
Mencermati hal tersebut, sebagai warga masyarakat Makassar sekaligus pewaris sejarah dan nilai-nilai budaya di satu sisi kita patut mengapresisasi usul dan rencana “pemanusiaan” nama-nama jalan itu. Apalagi niat dan tujuannya adalah untuk tujuan pembinaan generasi muda dalam upaya melestarian nama-nama tokoh yang telah menjadi lokomotif bagi penggerak peradaban di Sulawesi Selatan. Bisa dibanyangkan jika beberapa tokoh yang telah berkontribusi penting dalam gerak sejarah dan dinamika kota Makassar, harus hilang dalam memori kolektif hanya karena ketidakpedulian kita.
Meski demikian, dengan seuntai kata tabe’ izinkan saya mewacanakan beberapa poin berbeda dari usul dan rencana perubahan nama jalan tersebut. Pandangan ini mungkin saja dapat dianggap sebagai hal yang keliru, tapi paling tidak akan menjadi second opinion sekaligus menjadi pelengkap dari proses perenungan bersama memikirkan pembangunan serta wajah Makassar di masa mendatang.
Jika usul perubahan nama jalan dari nama binatang dan tumbuhan menjadi nama tokoh dianggap proses memanusiakan, maka pertanyaannya adalah bagaimana dengan nama sejumlah tempat misalnya, gedung, toko tempat jualan, dan berbagai fasilitas lainnya yang telah terlanjur menggunakan nama binatang atau tumbuhan?. Istilah Coto Gagak, Pallubasa Srigala, dan Pallubasa Onta yang diadopsi dari nama jalan tempat ia berada, sesungguhnya merupakan satu daya tarik tersendiri sekaligus keunikan yang dimiliki Makassar. Artinya, biarkanlah dia unik karena toh juga bukan Gagak ataupun Serigala yang dijadikan bahan coto dan pallubasa seperti halnya keunikan Sop Saudara yang tidak pernah menjadikan saudara menjadi sop serta Coto Jeneberang yang airnya juga bukan dari Sungai Jeneberang.
Kemudian mengenai tujuh tokoh atau mungkin lebih dari itu yang diusulkan menjadi nama jalan, pada dasarnya merupakan ide yang sangat baik. Hanya saja bukan sebagai pengganti nama binatang, tetapi peruntukannya mungkin bagi jalan yang baru dibuat atau menjadi bagian dari ruas jalan yang selama ini sangat panjang jaraknya. Selain itu, melestarikan nama tokoh tidak multak hanya pada nama jalan, tetapi dapat/telah dilakukan melalui pemberian nama fasilitas umum seperti, perpustakaan, aula, dan berbagai fasilitas publik lainnya. Bahkan mengapa tidak, nama-nama tokoh penting ini diabadikan dalam bentuk pembuatan ensiklopedi oleh pemkot yang bisa menjadi bahan bacaan lintas generasi.
Demikian pula peniadaan dan penggantian nama-nama binatang dari sejumlah jalan karena alasan tidak memiliki dasar historis, sepertinya kurang tepat karena justru keingintahuan historis dari generasi mendatang akan lahir dari ketertarikan pada nama unik itu. Sebagai contoh, Jalan Onta akan menjadi dasar-dasar pertanyaan historis yang akan memandu generasi melakukan ziarah ilmiah ke masa lampau mengetahui ikhwal penamaannya yang berciri binatang gurun pasir tersebut.
Jangankan istilah seperti nama nama jalan yang telah menyejarah, istilah-istilah terkini sekalipun memiliki meta-makna di balik proses kontruksinya. Contoh, nama kerupuk Eifel, Kripik Begal, Mie Remuk Patah Hati, Es Teler Kumpayakun, dan sebagainya yang muncul belakangan ini memiliki cerita mengenai proses penamaan atau tidak mungkin terlalu ekstrim dikatakan bahwa semuanya memiliki Asbabunnuzul.
Kita harus tetap meyakini bahwa setiap jengkal ruang yang pernah ditinggali atau tempat manusia berpijak dan beraktivitas sepanjang zaman, memiliki cerita, kisah, dan sejarah tersendiri yang sudah pasti saling berbeda. Sejarah tidak hanya milik para tokoh/aktor, tetapi juga totalitas ruang, aktivitas dan waktu dari perjalanan hidup umat manusia. Apakah kita lupa bahwa hampir semua rekonstruksi sejarah masa lampau melibatkan binatang dalam penyusunan kisah/ceritanya?.
Nah, jika kita sepakat dengan pernyataan ini maka mengganti nama binatang atas beberapa jalan itu dengan nama-nama tokoh, sama artinya berusaha “menghidupkan” tokoh melalui pengabadian namanya pada jalan. Akan tetapi, sekaligus meniadakan nama binatang itu sama artinya membunuh jejak dan cerita sejarah Kota Makassar.**
Makassar, 3 Mei 2015