Fiksi
Gadis Tual Yang Tersesat di Kampung Virtual

Published
3 tahun agoon
By
Ahmadin Umar
SENJA jingga baru saja berganti malam. Seorang gadis manis sudah asyik bermain laptop di warkop itu. Namanya Irawati mahasiswi yang baru saja menyelesaikan studi pada salah satu perguruan tinggi di Kota Makassar. Jari jemarinya yang putih bersih itu menari indah pada permukaan mouse komputer lipat di hadapannya. Matanya yang kecil imut memandang serius tak berkedip ke arah layar perangkat elektronik berwarna hitam itu. Ia sedang mencari sesuatu.
Dari sofa yang tidak begitu jauh, sesosok pemuda bernama Fikri terlihat sedang memerhatikan kegelisahan sang pemilik rambut lurus nan indah itu. Fikri melihat satu demi satu menu di situs itu yang diklik sang cewek silih berganti. Sepertinya ia gagal menemukan sesuatu yang dicari.
Mata Fikri menatap tajam ke arah website yang dibuka perempuan itu. Ia sangat kenal dan akrab dengan portal tersebut, karena ia adalah pembaca setia sekaligus penulis di situs ruang tempat berbagi pengetahuan itu.
“Assalamu alaikum. Mohon maaf, jika mengganggu”, sapa Fikri lembut.
“Wa alaikum salam”, jawab Ira setengah ikhlas dengan gaya cuek. Hanya separuh tatapnya ia berikan kepada Fikri.
“Apa bisa saya bantu, mbak?”, tanya Fikri seraya merapikan beberapa kertas dan alat tulis yang berserak di atas meja.
“Terima kasih. Saya masih bisa kerjakan sendiri”, jawab sang cewek lagi-lagi rada cuek padahal ia sesungguhnya butuh bantuan.
“Tapi aku mungkin bisa membantu menemukan apa yang mbak cari”, bujuk Fikri yang masih berdiri di sisi meja itu.
“Memangnya kamu pernah buka dan kenal situs bernama Kampung Virtual ini?”.
Mendengar hal itu Fikri hanya tersenyum tipis dengan sebuah keyakinan bahwa sang cewek manis ini mulai menerima tawarannya. Cewek imut berparas cantik itu segera menggeser duduknya ke samping kiri dan Fikri faham akan isyarat itu.
“Boleh aku duduk di sini?”
“Iya. Ayo bantu aku jika memang bisa”
“Oke. Siap”
“Siap…siap. Ayo dari tadi kamu senyum-senyum saja di situ”.
Fikri segera duduk di sampingnya dengan jarak sekira dua jengkal, seperti permintaan sang cewek. Sementara itu laptop Fikri sendiri dibiarkan berada di meja sebelah. Sebuah mouse di tangan Ira kemudian disedorkan ke Fikri. Namun Fikri menolaknya dengan alasan tidak bisa memakai alat seperti itu.
“Tidak biasa pakai mouse? Kamu ini aneh”
“Aneh bagaimana maksudnya?”
“Semua orang pakai mouse agar mengoperasikan laptop jadi lancar”
“Ah. Tidak selamanya. Lihat saja nanti”.
Fikri kemudian menunjukkan kepiawaiannya memainkan tombol atau tuts laptop milik Ira dan memungsikannya tanpa bantuan mouse. Sementara itu, dengan sedikit kecewa Ira menarik kembali mouse yang disedorkan barusan. Benda kecil itu lalu diletakkan kembali di atas meja dan lalu meraih sebuah dompet coklat dari dalam tas ransel miliknya.
“Kamu mau minum apa?”
“Iya. Apa saja aku ikut”
“Payah, dasar orang aneh”
“Jangan galak gitu, mbak. Santai saja”
Ia tidak menggubris kata-kata Fikri barusan dan malah beranjak dari kursi tempat mereka duduk menuju ke salah satu ruang warkop itu. Tidak lama kemudian ia sudah kembali membawa 2 gelas minuman juice jeruk.
“Apa kakak suka minum juice jeruk?”, tanyanya lirih lembut. Sangat kontras dengan gayanya beberapa menit lalu. Fikri merasa bahagia karena tiba-tiba sang perempuan itu menyapa dengan panggilan kakak.
“Iya suka. Apa saja pilihan kamu untukku pasti aku suka”, kata Fikri sedikit mulai merayu.
“Ah. Kakak jangan gombal deh”, tampiknya dengan senyuman yang semakin manis.
Rupanya sewaktu mengambil minuman barusan, Fikri tidak sadar jika dirinya diperhatikan oleh Ira dari jauh. Biasanya pelayan yang mengantarkan minuman ke meja dan pengunjung tinggal pesan. Tapi ini merupakan inisiatif Ira yang mengambil minuman itu sekaligus untuk bisa memandang pemuda ganteng yang diam-diam disukainya itu.
“Ayo diminum jusnya”
“Aku tidak akan minum sebelum selesai dua hal”
“Maksud kakak apa?”
“Sebelum menemukan situs dan tau nama kamu”.
“Oh iya, lupa. Kakak memang paling pandai menggoda”, katanya sambil menepuk lembut pundak Fikri.
“Iya aku serius. Nih sudah terbuka situs yang kamu cari”, katanya seraya menunjuk ke layar laptop.
Di situ terlihat sebuah laman website dengan domain KampungVirtual.id dan dilengkapi hurup “K” berwarna biru dengan motif garis sebagai logo. Pun di bagian atas website tertulis “Kampungnya Orang Biasa”. Ira sangat gembira melihat itu, karena sudah ketemu website yang pernah diceritakan temannya.
Ia menggeser duduknya lebih dekat ke Fikri dan sebaliknya Fikri bergerak menjauh. Fikri tersenyum menyejek dan mencoba mengerjai Ira.
“Kenapa kakak menjauh?”
“Bukankah harus jaga jarak minimal 2 cengkal?”
“Itu kan tadi saat aku belum kenal kakak”
“Memang kamu sudah kenal saya?”.
Ia tidak mejawab pertanyaan Fikri dan malah mengulurkan tangannya untuk salaman. Dari matanya terpancar isyarat suka.
“Namaku Ira, nama kakak siapa?”
“Saya…!”
“Iya siapa lagi. Kan hanya kita berdua yang ngobrol”
“Aku terserah kamu saja”
“Ini bukan minuman, tapi nama”
“Aku sudah bilang apapun pilihanmu pasti aku suka”
“Ya sudah. Daripada berdebat, kakak kupanggil Kavi saja”
“Iya terserah kamu”
Fikri kemudian meminum juice jeruk yang tersedia di atas meja sambil sesekali senyum ke arah Ira. Dalam diam sepasang mata mereka saling bercakap. Tidak ada seorangpun pengunjung yang memerhatikan mereka karena masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Kecuali alunan musik lembut dari lagu I Still Loving You milik Scorpion yang menjadi saksi bisu.
Rupanya meski sedikit aneh dan menjengkelkan, sang perempuan asal Kota Tual Provinsi Maluku itu mulai suka pada lelaki di sampingnya. Mereka kini semakin akrab dan tidak ada kalimat galak lagi terlontar dari mulut Ira. Semua berubah lembut romantis seiring rasa saling suka terjalin di antara mereka.
Perempuan yang gemar menulis itu, sangat menyukai situs publikasi online KampungVirtual.id. Ia semakin larut dalam bacaan kesukaannya yakni cerpen dan puisi pada rubrik fiksi di situs itu.
Sementara itu, Fikri hanya memerhatikan cewek manis di sampingnya sambil tersenyum gembira. Ada perasaan bahagia dalam hati Fikri sang pemuda kelahiran Makassar itu karena telah berhasil menolong seorang cewek cantik dan sukses meluluhkan hatinya.
“Kakak Kavi, apa rahasianya hingga dengan mudahnya situs ini”?, tanya Ira penasaran.
Fikri berpura-pura tidur dan seolah tidak mendengar pertanyaan Ira. Tubuhnya bersandar di sofa warkop dengan mata terpejam seperti sedang benar-benar tertidur.
“Dasar cowok aneh”, gerutu Ira dalam hati. Ia merasa tidak dihargai karena ngomong sendiri dan si cowok itu malah tertidur. Tapi di balik itu, rasa kecewa sempat impas oleh jasa baik Fikri yang bisa mengantarnya masuk ke Kampung Virtual.
Ira kembali fokus memerhatikan situs idamannya itu dan mulai membaca beberapa prasyarat untuk jadi penulis yang ditelusuri pada rubrik “Masuk Kampung”.
Fikri masih saja terus berpura-pura tidur, ketika Ira mulai membaca halaman demi halaman situs itu. Ira mulai membaca profil Kampung Virtual, FAQ, Registrasi, Panduan, Nulis di Kampung, Disclaimer, dan Kebijakan Privasi. Bahkan sempat membaca beberapa cerpen dan puisi pada rubrik fiksi.
Beberapa menit kemudian Ira mencoba membangunkan Fikri dengan cara bernyanyi. Lirik lagu yang disenandungkan cukup merdu itu bertajuk Memory Berkasih yang sempat populer di Youtube oleh duet penyanyi Fildan dan Baby Shima.
“Menangis hati ini”, nyanyi Ira langsung ke bagian reffnya. Ia dengan sengaja ingin memperdengarkan suaranya dan berharap Fikri bisa terbangun dari tidurnya.
Alangkah kagetnya Ira ketika tiba-tiba dengan vokal yang tidak kalah merdu, Fikri membalas lagu itu.
“Ku juga bersimpati”.
Seolah sudah disetting sebelumnya, keduanya pun menuntaskan lagu itu dengan beduet. Sungguh sebuah kolaborasi apik dan sangat nyaman mendengarnya.
“He…stop…stop. Kenapa kita jadinya nyanyi?”, seru Ira. Ia sebenarnya sangat menyukai suara Fikri yang agak berat namun bagus. Sebaliknya, Fikri juga sangat suka suara Ira.
Beberapa pasang mata pengunjung warkop sejenak sempat memerhatikan tingkah keduanya. Segera setelah itu mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.
“Suara Kak Fikri bagus sekali”
“Suara kamu juga asyik”
“Terima kasih. Tapi kita kan sedang menelusuri kampung Virtual?”
“Iya betul. Ayo kita lanjutkan”.
Keduanya lalu bersepakat untuk melanjutkan bacaan dan proses pengenalan lebih jauh atas situs KampungVirtual.id. Fikri segera mengambil laptop miliknya di meja sebelah lalu memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya.
“Kenapa laptopnya dimasukkan ke tas. Sudah mau pulang?”
“Tidak. Aku mau nebeng saja di laptopmu biar lebih hemat listrik”
“Eh. Mau gunakan kesempatan ya?”
“Ya tidaklah. Aku hanya ingin mengantarmu keliling kampung virtual”.
Ira mengangguk setuju. Namun satu hal yang masih membuatnya penasaran adalah mengapa Fikri sepertinya sangat akrab dengan situs itu. Ia bertekad segera mengakhiri kepenasannya.
“Kak Fikri. Aku mau tanya satu hal”
“Iya silahkan”
“Sepertinya kak kenal sekali situs ini?”
“Ya pasti. Saya kan salah seorang penulis di situs itu”
“Masya Allah. Berarti dari tadi saya dikerjai?”
“Ya tidaklah. Makanya dari awal saya tawarkan bantuan”.
Mendengar hal itu, Ira hanya senyum disusul Fikri yang membalasnya sama. Kemudian keduanya pun secara hampir bersamaan menghabisi sisa juice jeruk yang tinggal sedikit dalam gelas.
“Terus Kak Kavi.. KampungVirtual.net itu apa?”
“Nah…itu pusat belanja atau toko Kampung Virtual”
“Berarti kayak kampung nyata..ya?”
“Betul dan bahkan ada juga kampusnya”
“Oh ya. Namanya apa?”
“Akademivirtual.com. Coba saja dibuka”
“Oke kak. Siap!”
“Tapi jangan bingung lagi ya. Jangan tersesat”
“Tersesat…maksudnya?”
“Kamu tersesat di Kampung Virtual”
“Iya deh dan Kak Kavi yang menunjukkan jalan”.
Ira segera melirik jam tangan miliknya dan malam sudah menunjuk pukul 10.00 Wita. Ia sudah harus kembali ke rumah kosnya untuk persiapan kembali ke Tual esok hari menyusul selesainya rangkaian proses studi di Makassar.
“Kak Kavi maaf ya. Malam sudah larut”
“Sudah mau pulang?”
“Iya. Tapi sebelumnya tolong beri tahu aku nama asli kakak”
“Sebenarnya kamu dari awal sudah tepat memberiku nama”
“Namaku Fikri. Jadi Kavi itu kakak Fikri dan kamu hebat memberiku nama”
“Astaga berarti cocok dong. Padahal Kavi maksud aku itu singkatan dari Kampung Virtual”
Sejenak keduanya tertawa bersama. Namun beberapa menit kemudian suasana berganti lain. Ira yang sempat menyukai Fikri harus pulang ke Tual dan tidak lama lagi akan menikah dengan pria dari keluarganya sendiri. Hal ini harus selesai malam ini dan mesti disampaikan kepada Fikri meski ini berat rasanya.
Kakak Fikri…maafkan aku karena sudah mau pulang”
“Maksudnya apa. Mau pulang saja minta maaf”
“Aku mau pulang ke Tual besok dan mungkin tidak akan kembali lagi”
“Jadi aku bagaimana?. Aku menyukai kamu”
“Iya aku tahu tapi aku yakin kak bisa temukan cewek yang jauh lebih baik dari aku”.
Mendengar hal itu Fikri sangat kecewa. Baru saja benih-benih cinta itu tumbuh dan kini harus layu serta mungkin akan mati oleh perpisahan ini. Ira menceritakan semua tentang perjodohannya dengan sepupu di Tual, meski baginya sangat berat. Ira juga sangat menyukai Fikri. Tapi bapak dan ibunya yang masing-masing berasal dari Kabupaten Barru dan Pare-Pare, sudah memilihkan calon pendamping hidup. Ira sendiri sebenarnya juga sedikit ada rasa suka pada pria pilihan orang tuanya itu sewaktu dirinya masih bersekolah di Tual.
Fikri hanya diam mendengar Ira bercerita. Apa boleh buat tidak ada pilihan lain baginya kecuali menerima kenyataan pahit ini. Harapan Fikri hancur. Ia tidak pernah menyangka jika lagu yang barusan dinyanyikan sangat romantis berdua dengan gadis yang dikaguminya, justru menjadi tula bagi hubungan mereka yang singkat itu. Takdir yang meminta mereka harus berpisah seperti pada lagu Malaysia itu. Hanya rindu di kejauhan ternyata yang harus menemani kegelisahan mereka.
Tapi sebagai seorang yang gemar membaca buku-buku motivasi dan pegagum buku “The Magic of Thinking Big” karya David J. Schwartz, Fikri segera bisa menguasai emosinya. Ia berpikir bahwa mungkin ada benarnya juga perkataan Ira. Dirinya akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Fikri hanya pasrah.
Segera setelah laptop milik Ira dimasukkan dalam tas, gadis Tual itu meminta pamit pada Fikri dengan wajah muram. Sementara mimik muka Fikri juga tampak penuh kecewa meski berusaha disembunyikan.
“Aku pamit ya Kak Fikri”, ucap Ira seraya menjabat tangan cowok yang dicintainya meski hanya tiga setengah jam itu.
“Iya….iya…terima kasih”, sahut Fikri sambil mencium tangan Ira seperti saat ciuman tangan dengan ibunya saat lebaran.
“Sekali lagi aku pamit ya. Terima kasih untuk semua bantuanya”, kata Ira yang juga menjabat serta mencium tangan Fikri.
“Iya…jika ingin diantar masuk kampung lagi kamu boleh hubungi aku di via WA”
“Oke kakakku yang baik”.
Senyuman manis Ira untuk yang terakhir kalinya sempat membuat Fikri bahagia di ujung pertemuan itu. Keduanya kemudian berjalan keluar meninggalkan warkop.
Ira melambaikan tangan tanda perpisahan dan Fikri pun membalasnya. Hanya senyuman tipis yang tercipta dari bibir-bibir mereka. Beberapa menit kemudian keduanya sudah menghilang ditelan malam. Hanya memory yang kini tertinggal di warkop itu.
*Catatan: tulisan ini fiktif dan jika seandainya ada kesamaan atau kemiripan nama serta kisahnya, itu hanya kebetulan saja.
[Makassar 28.08.2019]
Dimuat di KampungVirtual.id
You may like

SENJA di langit kian menua. Mentari di ufuk barat, segera membenamkan dirinya di kaki langit dalam hitungan menit. Yusuf belum juga beranjak dari duduknya sejak sejam yang lalu. Ia malah semakin akrab dan enggan berlalu meninggalkan tanggul Pantai Losari sore itu.
Bersama pikiran galau dan hatinya yang rapuh, ia masih terus memandangi laut. Rambutnya yang kusut terterpa angin tak ia hiraukan. Di sudut sana dua pasang mata yang mengenal Yusuf tampak memerhatikan tindak tanduknya. Dalam hati mereka bertanya-tanya apa gerangan yang membuat pria gemar melucu ini tiba-tiba gundah?.
Yusuf sama sekali tak menghiraukan itu semua. Ia justru memilih cuek dalam diam yang sangat. Batinnya terus bergolak. Kabar tentang hubungan cintanya yang akan berakhir sia-sia, terus mengiang di telinganya. Pemali jika ia menikah dengan Aisyah, begitulah kalimat yang telah dikabarburungkan melalui gossip oleh banyak pihak yang tiada lain adalah sanak keluarganya sendiri. Bahkan Aisyah yang menghubungi Yusuf melalui telepon kemarin malam sambil menangis, pun memercayai kabar itu. Ia juga sangat takut melanggarnya.
Dalam tradisi masyarakat Selayar, memang sangat pantang seseorang melanggar atau mengabaikan pesan kultural ini. Jika dilanggar, akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup sebuah pasangan suami istri. Yusuf tahu persis sanksi kultural apa yang akan menimpa siapa saja yang dengan sengaja berani melanggar larangan atau pesan leluhur yang dalam istilah Bahasa Selayar bernama kapalli’ ini. Mengapa?.
Dua bulan lalu Yusuf telah melakukan penelitian atas hal sejenis di tanah kelahirannya, sehingga pengetahuan mendalam atas seluk beluk pemali membuat keraguannya untuk melanggar semakin paripurna. Apalagi secara ilmiah ia yang telah membuat kategorisasi pemali berdasarkan fungsi, kedudukan, dan akibatnya yang dituang dalam sebuah hasil riset.
Nasir dan Rahma yang sedari tadi bergumul dengan rasa penasarannya, lalu berjalan menghampiri Yusuf seraya memberi salam. Sapaan Islami itu tampak berlalu begitu saja. Yusuf masih memilih diam dalam kuasa ketakutan pikirannya.
“Assalamu alaikum,” sapa pasangan kekasih itu kembali dengan suara saling susul.
Yusuf masih memilih menundukkan kepala. Namun hatinya tiba-tiba berbisik bahwa mengabaikan salam itu dosa. Dengan lesu ia memalingkan mukanya ke arah dua sahabatnya, seraya menjawab salam itu.
“Wa alaikum salam”
“Kenapaki’, Partner?”
“Tidak apa-apaji”
“Tapi kenapaki’ kelihatan sangat galau?. Putus cinta ya!”
“Ah, tidak. Masalah biasaji.”
Yusuf masih saja menutup diri dan tidak mau berterus terang akan masalah yang dihadapinya.
“Saya kan saudaramu sejak dulu, Ucu. Seharusnya kita bisa berbagi suka maupun duka,” bujuk Nasir sambil meraba pelan bahu sahabatmya.
Kata demi kata yang mengalir dari mulut sahabatnya itu, membuat hati Yusuf tersentuh. Ia teringat masa-masa kuliah dulu di IAIN Alauddin Makassar. Terbayang dalam benaknya suka-duka hidup di rumah kontrakan. Yusuf kembali membayangkan saat-saat sulit mereka jika suplay uang belanja dari orang tua telat dikirim dari kampung.
Ia tidak pernah lupa akan suatu malam saat uang belanja mereka habis, beras di ember kosong, dan stok indomie kaldu juga tinggal satu bungkus. Akhirnya, mereka makan seadanya dan sebungkus mie tersebut dibagi dua. Malam berikutnya, kedua sahabat ini terpaksa putar otak untuk menyambung hidup. Atas kesepakatan mereka, keduanya numpang makan di sebuah gedung pesta dengan modal amplop kosong.
Pengalaman bersama inilah yang membuat hati Yusuf terdorong menceritakan masalah yang dihadapinya. Disampaikannya pada Nasir bahwa ia akan sulit meneruskan hubungan cintanya dengan Aisyah, karena pemali menurut kepercayaan orang tua dulu.
“Pemali bagaimana?. Apa maksudnya!” tanya Nasir penasaran.
Yusuf menghela nafas panjang dan diam beberapa detik. Pria kelahiran Selayar 15 Juni 1977 ini, segera menceritakan ikhwal kegelisahan dan masalah yang sedang dihadapi. Ia mulai menjelaskan tentang sulitnya melanjutkan hubungan cintanya dengan Aisyah ke jenjang pelaminan. Yusuf mengutarakan bahwa leluhur mereka dahulu pernah membuat perjanjian bahwa keturunan mereka kelak tidak boleh menikah. Bahkan menurut Yusuf larangan yang dalam bahasa Selayar disebut attunra ini, ada sanksi yang akan diterima bagi si pelanggar.
Berdasarkan cerita yang ia terima dari keluarganya, Yusuf menjelaskan bahwa jika ia bersikeras menikah dengan Aisyah, maka petaka akan menimpa diri dan keluarganya. Yusuf mengatakan bahwa jika bukan ia yang akan berumur pendek, maka Aisyahlah yang akan mengalami kondisi serupa. Bahkan dijelaskan bahwa kalaupun musibah ini tidak terjadi, maka ada semacam kutukan lain yang akan diterima yakni selama mereka hidup tidak pernah kecukupan dan akan hidup menderita.
Nasir yang sebelumnya hanya tampak manggut-manggut mendengarkan cerita Yusuf, lalu beranjak dari duduknya sambil meraba pinggangnya yang sudah mulai pegal.
“Serius juga masalahmu, Ucu. Tapi ngomong-ngomong sekarang sudah pukul 18.45 dan kita belum shalat Magrib,” ujar Nasir seraya mengajak Yusuf dan Rahma menuju masjid terdekat. Beberapa menit telah berlalu dan perintah magrib-Nya pun telah mereka tunai. Ketiganya kini beranjak meninggalkan Rumah Tuhan itu menuju sebuah warung makan yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.
Pada warung di tepi jalan itu, mereka memesan nasi goreng. Nasir dan Rahma menyantap hidangan itu dengan lahapnya. Hanya beberapa menit nasi goreng beserta kerupuknya habis tak tersisa. Sementara sendok dan garpu Yusuf, hanya bergerak sesekali, sehingga hidangan dalam piring itu belum cukup sepertiga ia makan. Tangan-tangannya justru lebih aktif bergerak menyangga dagunya sambil mengunyah dengan tatapan mata yang hampa.
“Hei, kamu melamun lagi ya?”
“Astagfirullah, bikin kaget saja kamu, Nasir!”
“Abis dari tadi kamu kerjanya diam terus. Ayo semangat dong!”
“Astaga, siapa yang tidak bersemangat?”
Yusuf berusaha tersenyum meski sedikit dipaksakan. Ditenguknya air minum di gelas itu hingga kosong. Sementara nasi goreng yang belum seperduanya disantap itu dibiarkan begitu saja.
“Nasir, ayo kita pulang sekarang.”
“Tapi …. gimana dengan nasimu itu?”
“Tidak apa-apa.”
“Maksudnya? Itu kan mubazzir!”
“Ah, siapa yang bilang, itu rezekinya semut.”
“Jika begitu, sudahlah. Memang sulit berdebat dengan orang cerdas seperti kamu, Ucu.”
“Sembarangan tong kamu, Nasir.”
“Tidak, saya serius. Kamu kan paling jago jika berdiskusi saat kuliah dulu.”
Tawa Yusuf tiba-tiba menyala mendengar pujian sahabatnya itu. Terbayang olehnya suasana diskusi saat masih kuliah dulu. Perdebatan alot dengan Nasir saat diskusi materi Sejarah Dunia, tidak akan pernah hilang dalam ingatannya.
“Syukurlah jika kamu masih mengakui kehebatanku,” ujar Yusuf sambil tertawa terbahak-bahak. Ia menghampiri sahabatnya itu sambil merangkulnya dengan perasaan sangat bahagia. Hatinya berkata bahwa Nasir memang adalah sahabat sejati. Ia adalah orang yang paling cocok dijadikan tempat berbagi suka maupun duka.
“Eh Yusuf, kamu jangan berbangga dulu.”
“Maksudnya?”
“Satu yang tidak saya akui dari kamu.”
“Apa itu?”
“Kamu kalah oleh masalah dan mati kiri karena cinta.”
“Ha…ha…. Betul sekali. Tapi ini ceritanya lain, partner.”
“Ah, sudahlah. Sebentar kita lanjut diskusinya di rumahmu.”
“Oke, bos Nasir.”
Beberapa saat kemudian ketiganya beranjak meninggalkan Pantai Losari. Kedua sepeda motor tipe Honda Astrea Grand yang sebelumnya menunggu tuannya dengan setia di pelataran parkir, kini melaju melintasi jalan-jalan di kota Makassar. Yusuf tiba lebih awal ke rumahnya di BTN Antara, sedang Nasir mengantar Rahma pulang ke rumahnya di Bumi Tamalanrea Permai. Sekitar 15 menit kemudian, barulah sepeda motor Nasir tiba di tempat tinggal Yusuf. Rumah milik orang tuanya ini, hanya ditinggali oleh Yusuf dan adiknya yang kebetulan sedang pulang kampung.
Di sebuah kamar berukuran 4×5 M itu, keduanya melanjutkan cerita dengan duduk melantai seadanya. Di sekitar mereka tampak dua gelas teh hangat dan beberapa kue tradisional dari Selayar siap menemani kedua anak muda ini begadang.
“Enak juga kue ini, Yusuf.”
“Ya pastilah. Ini kan buatan mama saya.”
“Kapan kamu dari Selayar?”
“Saya belum pernah pulang. Kue itu dikirim melalui mobil bus tadi malam.”
Entah siapa yang mulai membuka pembicaraan, kedua sahabat berbeda suku ini pun kembali terlibat percakapan serius. Tema perbincangan mereka masih seputar masalah yang dihadapi Yusuf. Nasir sebagai sahabat sejati, tentu saja tidak ingin sahabatnya terus larut dalam lilitan masalah. Ia mendengarkan dengan serius aneka cerita yang dituturkan Yusuf terkait pemali yang menjadi penghalang rencananya untuk mempersunting Aisyah.
Berbagai hal yang berhubungan dengan pemali, Yusuf telah ceritakan tak terkecuali di luar konteks larangan melangsungkan perkawinan seperti halnya masalah yang dihadapinya sekarang. Aneka pemali berhubungan dengan berbagai aktivitas kehidupan masyarakat diceritakan Yusuf secara panjang lebar pada Nasir. Jika semuanya itu ditulis, mungkin sudah bisa menjadi sebuah ensiklopedi atau buku pintar khusus pemali.
Mendengar penuturan Yusuf yang sangat berapi-api itu, pikiran Nasir tiba-tiba menerawang jauh. Seketika hayalannya berziarah ke masa lampau menembus lapis waktu. Imajinasinya terus bergerak menghampiri memory dengan harap dapat membantunya menyusun lupa. Terbayang kini akan sebuah pesan lelulur mereka di Tanah Luwu bahwa pantang orang Luwu (Palopo) menikah dengan orang Selayar. Bahkan orang Luwu juga sangat dilarang untuk menyeberangi perairan dari Bira menuju Selayar. Jika ada yang melakukan, maka pasti ia akan mati tenggelam.
Pesan leluhur Nasir di Tanah Luwu ini, pun diceritakan kepada Yusuf sebagai bahan pembanding. Akibatnya, larangan mempersunting Aisyah seakan memiliki pembenaran baru. Adanya dua latar kultur yang melegitimasi pantangan ini, membuat kekhawatiran Yusuf kian menjadi serta ketakutannya makin memuncak ke titik kulminasi. Harapannya untuk mendapatkan putri semata wayang dari pasangan Abdul Kadir dan Zulaikha itu nyaris pupus.
Alangkah terpukul hati Yusuf mendengar itu semua. Dalam pikirannya terbersik bahwa pemali rupanya tidak hanya milik dan berlaku bagi orang Selayar. Di Luwu pun ada dan di tempat lain juga pasti sama. Mimik wajah Yusuf menggambarkan duka yang sangat mendalam.
Melihat hal itu Nasir merasa bersalah, namun ia tidak kehabisan akal. Dibujuknya sahabatnya itu untuk tetap bersabar dan tidak boleh menyerah. Nasir berusaha menyakinkan sahabatnya itu bahwa di balik ini semua pasti ada hikmahnya dan Allah tidak pernah tidur. Allah senantiasa melihat hamba-Nya yang bersabar dan berdo’a kepada-Nya.
Dalam suasana hati yang tidak kondusif itu, Yusuf hampir tidak mengindahkan nasihat dari kawan seperjuangannya ini. Ia justru mulai memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak pantas dilakukan sebagai mantan aktivitis dan trainer kajian-kajian Islam.
“Gimana jika saya kawin lari saja sama Aisyah?”
“Subhanallah. Kamu jangan gila, Ucu!”
“Ini bukan gila, tapi jalan keluar terbaik”
“Maksudnya bagaimana?”
“Akan kubawa Aisyah jauh dari tanah pemali ini”
“Jangan Ucu. Apa kata dunia nanti”
“Saya tidak perduli. Persetan dengan semua itu.”
Melihat sikap ngotot sahabatnya itu, Nasir kemudian berusaha membujuk dan menyadarkan Yusuf. Pemuda asal Belopa ini berusaha meyakinkan bahwa Yusuf masih muda. Perjalanan hidupnya masih sangat panjang dan Aisyah bukan satu-satunya perempuan terbaik. Bahkan Nasir menyatakan siap untuk mengenalkan Yusuf dengan sepupunya.
“Ucu, maaf saya punya saran”
“Maksudnya mau membantu saya kawin lari yah?”
“Astagfirullah… tidak. Tidak begitu maksudku”
“Lalu apa maumu?”
“Saya punya sepupu dan orangnya cantik”
“Terima kasih. Tapi saya tidak butuh seperti itu”
“Maksudku, orangnya rajin shalat dan alumni kedokteran Unhas”
“Sekali lagi terima kasih. Saya hanya butuh Aisyah.”
Nasir menyadari betapa dalamnya cinta dan kasih sayang seorang Yusuf kepada Aisyah. Ia sangat menghargai prinsip hidup dan pilihan hati sahabatnya ini. Karena itu, ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk membantunya keluar dari masalah yang rumit ini.
Tanpa terasa waktu begitu cepat bergulir dan jarum jam sudah menunjuk pukul 03.00 dini hari. Mereka sepakat untuk mengakhiri pembicaraan dan segera tidur menghabiskan sepotong malam yang tersisa itu.
Malam kini berganti pagi. Mentari telah memancarkan cahayanya di ufuk timur ketika Yusuf terjaga dari tidurnya. Alangkah kagetnya ia ketika sahabatnya sudah beranjak meninggalkan rumah itu, sebelum ia terbangun. Padahal tadi subuh keduanya masih sempat melakukan shalat secara berjamaah. Rupanya Nasir tidak ingin mengganggu sahabatnya yang tengah tertidur pulas itu.
Sejak pertemuan sore hingga malam ketika itu, sudah sepekan terakhir kedua sahabat ini tidak saling mengunjungi. Waktu ini rupanya dipergunakan oleh Nasir untuk mencari tahu perihal larangan perjodohan Yusuf dengan Aisyah. Nasir sangat penasaran karena yang ia tahu pasangan kekasih ini, keduanya adalah suku Selayar. Lalu mengapa harus ada larangan untuk menikah?
Rasa penasaran itu mendorong Nasir untuk menemui beberapa keluarga Yusuf yang tinggal di Makassar. Para kerabat Yusuf yang ditemui Nasir adalah pihak yang bukan merupakan sumber berita tentang adanya pemali seperti yang disebutkan Yusuf sebelumnya. Dari hasil pembicaraan Nasir dengan beberapa orang tua asal Selayar tersebut, diketahuilah bahwa Yusuf adalah asli Selayar. Sedangkan Aisyah sendiri, meskipun memiliki hubungan kekerabatan dengan Yusuf, namun ia adalah anak atau keturunan dari salah seorang perantau asal Riau.
Keterangan lainnya yang diperoleh Nasir bahwa kakek dan nenek Aisyah selama bertahun-tahun menetap di Riau dan Sabah Malaysia. Barulah menjelang pernikahan ayah dan ibu Aisyah, keduanya berangkat ke Benteng Selayar. Setelah itu, kakek dan neneknya tinggal menetap di Sabah hingga sekarang.
Dari informasi yang dihimpun mengenai latar keluarga Yusuf dan asal-asul keluarga Aisyah, Nasir tiba-tiba berpikir jangan-jangan kabar tentang pemali itu hanya rekayasa yang sengaja dilakukan oleh orang-orang tertentu. Paling tidak menurut pikiran Nasir, ada pihak-pihak tertentu yang tidak menghendaki perjodohan Yusuf dan Aisyah.
Rupanya tidak salah. Berita mengenai adanya sumpah dari leluhur mereka yang tidak membenarkan adanya pernikahan sesama garis keturunan itu hanya kabar burung. Siapa sumber asli dari berita mengenai larangan menikah itu, pun tidak jelas dan tidak ada yang siap mengaku. Menurut Nasir ini adalah kabar gembira yang harus ia sampaikan kepada sahabatnya.
Beberapa hari kemudian Nasir menghubungi sahabatnya melalui telepon dan diajaknya bertemu di Losari kembali. Awalnya Yusuf sempat menolak dengan alasan ia trauma dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, akhirnya ia menerima ajakan Nasir untuk bertemu di tempat itu.
“Hai… Ucu, gimana kabarmu sekarang?”
“Baik, memangnya kenapa. Mau ungkit masalahku lagi ya?”
“Iya, kamu itu lucu, apalagi sedang galau.”
“Sudahlah, apa tidak ada berita lain.”
“Ya.. adalah. Berita ini sangat baik.”
“Maksudmu kamu mau sampaikan salamnya sepupumu yang alumni kedokteran itu?”
“Bukan bro, ini soal Aisyah.”
“Sudahlah, saya telah berusaha melupakan dan berserah diri saja pada Allah.”
“Nah….. justru itu maksudku kali ini adalah akan menyampaikan buah dari sikap berserah dirimu kepada-Nya.”
“Tidak usah main-main, Nasir. Lebih baik kita pulang saja.”
“Benar kamu tidak ingin mendengar kabar tentang Aisyah?”
“Tidak. Ayo cepat katakan.”
“Uuu…. Cuek tapi rindu.”
Nasir segera menceritakan kepada Yusuf bahwa ia dan Aisyah berbeda garis keturunan. Ia juga menjelaskan bahwa isu mengenai pemali jika mereka menikah, hanya merupakan kabar burung dari orang-orang yang tidak senang akan perjodohannya.
Yusuf seakan tidak percaya akan berita ini. Tapi hati kecilnya berkata bahwa Nasir adalah sahabatnya yang tidak pernah membohonginya. Dipeluknya erat sahabatnya itu sambil menangis bahagia. Nasir juga tampak sangat senang melihat sahabatnya itu bisa ceria kembali.
“Apakah kita harus mencari biang kerok dari semua persoalan ini?” tanya Nasir menawarkan seraya mundur dan melepaskan tangan-tangannya.
“Tidak perlu saya kira. Lebih baik kita ambil hikmahnya saja,” tolak Yusuf meyakinkan.
Mereka pun bersepakat untuk tidak memperpanjang masalah ini. Yusuf sangat bahagia karena bisa melamar Aisyah. Sejurus kemudian, ia berusaha meraih ponselnya dari dalam ransel hitam miliknya untuk segera menghubungi Aisyah sekaligus mengabarkan berita gembira ini. Tapi sayang sekali, HP kekasihnya itu tidak aktif.
Sekitar sepuluh menit kemudian, tiba-tiba HP Yusuf berdering. Dari nada dering lagu milik Syahrini “sesuatu” itu, Yusuf yakin jika yang menghubunginya itu adalah Aisyah. Ia segera mengangkat HP-nya sambil tersenyum bahagia.
“Hallo, sayang, gimana kabarnya?”
“Baik, kak Ucu. Tapi saya masih sedih.”
“Nah….. justru kali ini aku akan mengobati kesedihanmu. Percayalah, ada kabar gembira untukmu.”
“Kabar apa itu kak?”
“Kita akan menikah, Ais!”
“Tidak boleh kak, pemali.”
“Subhanallah, itu tidak benar sayang. Itu cuma gossip dan saya bisa jelaskan semuanya.”
“Tidak usah kak.”
“Maksudnya?”
“Saya sudah tau semua dari tanteku.”
Hampir di penghujung komunikasi telepon, Aisyah baru menunjukkan kegembiraannya. Rupanya ia sengaja mengerjai Yusuf. Keduanya sangat bahagia dapat melewati ujian cinta mereka. Akhirnya, sepasang kekasih masing-masing berdarah Selayar dan Melayu ini sepakat untuk menikah satu bulan kemudian.
Yusuf dan Nasir kembali ke rumah masing-masing dan atas inisiatif kedua sahabat ini, mereka kemudian bekerjasama menulis buku tentang pemali yang menyoal kedudukan dan fungsinya dalam masyarakat. Materinya dihimpun dari hasil penelusuran dan diskusi mereka berdua dalam rangka menjawab teka-teka di balik larangan Yusuf dan Aisyah menikah.
Rappokalling, 27 Mei 2006
Pengarang: Ahmadin Umar – Naskah ini terbit dalam sebuah buku berjudul “Melerai Jarak: Antologi Cerpen Pilihan ” (Giatmedia, 2016).


Tips Berbelanja Perlengkapan Hewan di PetStore Indonesia

Cara Menghasilkan Uang Dari Jual Pulsa, Token Listrik, dan Jasa Pembayaran Online

Cara Registrasi dan Upload Artikel di Open Science Framework

Pengertian dan Hakikat Sejarah

Memahami Kota Melalui Pendekatan Teori Ekologi Sosial

Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kerajaan-kerajaan Kuno di Asia Tenggara
Trending
-
Learning3 tahun ago
Pengertian dan Hakikat Sejarah
-
Pojok Urban2 tahun ago
Memahami Kota Melalui Pendekatan Teori Ekologi Sosial
-
Learning3 tahun ago
Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kerajaan-kerajaan Kuno di Asia Tenggara
-
Travel3 tahun ago
Suatu Siang di Tsim Sha Tsui Promenade
-
Pojok Urban2 tahun ago
Kota, Kemacetan, & Asal Mula Lampu Lalu Lintas
-
Learning3 tahun ago
Memahami Filsafat Sejarah Spekulatif dan Filsafat Sejarah Kritis
-
Books2 tahun ago
Membaca Buku Sosiologi Penjara
-
Tips & Tutorial1 tahun ago
Cara Registrasi dan Upload Artikel di Open Science Framework
You must be logged in to post a comment Login