Connect with us

Karya Tulis Ilmiah Populer

Dramaturgi Penjahat Bermotor

Published

on

SALAH satu fenomena meresahkan dalam kehidupan bermasyarakat di kota Makassar beberapa bulan terakhir ini adalah munculnya tindak kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda bermotor. Para aktor dari aksi kejahatan yang kerap muncul dan selalu meminta korban termasuk dari pihak-pihak tak bersalah itu kemudian akrab disebut geng motor. Demikian populernya istilah ini, sehingga kehadirannya kembali menambah satu item perbendaharaan pengetahuan kita tentang jenis tindakan kejahatan di kota Makassar.

Jika sejauh ini sasaran kewaspadaan dan kehati-hatian orang hanya dialamatkan pada para pelaku kejahatan bernama pencuri, pencopet, dan jamret, kini kita kembali terakrabkan oleh sebuah modus baru kejahatan bernama geng motor. Bahkan tindak kejahatan yang dilakukan oleh kaum masih berusia relatif muda ini, justru lebih berbahaya dibandingkan dengan jenis kejahatan lainnya. Betapa tidak, dalam beberapa kejadian mereka tidak hanya mengganggu para pengguna jalan tetapi juga mengusik beberapa tempat umum seperti warkop.

Fenomena kejahatan tersebut, menggiring keinginan kita mencari tahu atau minimal menemukan perbandingan mengenai hal serupa di tempat lain. Setidaknya dapat dijadikan bahan untuk menemukenali eksistensi serta penciri masing-masing dalam upaya menemukan akar penyebab dan solusinya. Sebut saja antara lain Jepang, menarik dijadikan perbandingan mengenai fenomena geng motor yang pernah memiliki kiprah dan sempat menguras perhatian banyak pihak atasnya.

Di Jepang pernah muncul dan popular sebuah geng motor yang akrab disebut Bozoku, pada era 1980-an. Nama geng ini cukup unik, yakni Bozoku yang berarti “Suku yang Nekat”. Anggota kelompok ini merupakan gabungan pemuda penghobi motor yang memodifikasi kendaraannya dengan cara memadukan motor Jepang dengan onderdil dari American Chopper dan British Cafe Racer. Salah satu penciri kendaraan mereka yang paling terkenal adalah knalpot sambungan yang bersuara besar saat berkendara atau convoi di jalan raya. Selain itu, kelompok ini gemar berkendara tanpa menggunakan helm dan menerobos traffic light seenaknya. Adapun unsur pembeda antara geng motor satu dengan lainnya adalah model modifikasi dan sticker (logo) group (kelompok).

Malahan jauh sebelumnya yakni era 1950-an, di Jepang telah dikenal geng motor bernama Kaminari Zoku (Suku Petir). Kelompok yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah ini, kerap menunjukkan aksinya dengan membawa sejumlah alat pemukul dari besi dan bom Molotov untuk menghadapi lawan atau musuh mereka. Meski Demikian, masa keemasan mereka hanya sampai 2000-an, karena sejak 2004 pemerintah Jepang merevisi aturan jalan raya yang memberikan hak/perintah kepada polisi untuk menangkap anggota geng motor tersebut.

Di Indonesia sendiri fenomena geng motor muncul di era 1980-an, yang konon disebabkan sulitnya mencari acara otomotif  dengan menjadikannya sebagai ajang meyalurkan hobby. Meski demikian, kelompok pemotor yang katanya sekadar menyalurkan kegemaraan ini pun akhirnya melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat. Lalu bagaimana proses kelahiran kelompok pemotor di Makassar?.

Sangat sulit menentukan perihal kemunculan kelompok ini tanpa dukungan data memadai, kecuali hanya sekadar mengungkapkan tindakannya yang merugikan dan meresahkan banyak pihak. Di tengah kerinduan masyarakat akan keamanan dan dambaan akan terbebas dari gangguan kejahatan kaum bermotor, justru persoalannya mengendap di antara alasan kesulitan pihak aparat keamanan untuk memberantasnya. Bahkan ironisnya, pihak aparat keamanan malah menganggap fenomena kejahatan bermotor ini masih dalam kategori tindakan “kenakalan remaja”.

Mencermati “sikap dingin” pihak aparat keamanan tersebut, berpotensi melahirkan kesan di masyarakat bahwa pihak kepolisian mengabaikan kasus ini dengan cara menyederhanakan persoalannya. Padahal modus kejahatan yang dianggap kenakalan remaja ini, telah menelan korban jiwa. Hal penting sesungguhnya dalam persoalan ini adalah menemukenali meta-prinsip di balik tindakan kejahatan yang mereka lakukan, bukannya menganggapnya sebagai kejahatan biasa. Sebab kita yakin bahwa mereka berasal dari keluarga baik-baik yang telah digembleng agar memiliki sikap dan keperibadian terpuji.

Ilustrasi geng motor. – Foto: net/croping

Masalahnya hanya karena terjadinya peningkatan sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosialnya, sehingga memicu mereka melakukan tindakan menyimpang yang oleh Durkheim disebutnya deviasi sosial. Pertanyaan menarik adalah kekuatan besar apa yang bersemayam dalam pikiran kaum remaja kita dan memicu tindakan kejahatan?. Inilah antara lain yang diulas Philip Zimbardo dalam “The Time Paradox”, bahwa setiap keputusan dan tindakan manusia termasuk hasilnya ditentukan oleh kekuatan besar dalam pikirannya.

Selain itu, penyebutan atas tindakan kejahatan ini sebagai ulah geng motor sepertinya kurang tepat. Alasannya, karena sebutan geng motor dapat menjadi kebanggaan tersendiri serta semakin membuat mereka seakan-akan bertindak di atas panggung teatrikal yang diritualkan. Mereka akan selalu melakukan berbagai tindakan kejahatan seakan berada di atas panggung dan ditonton oleh banyak orang. Fenomena tindakan seperti inilah yang digambarkan oleh David Chaney, dalam buku “Life Style” (1996) dan disebutnya sebagai manusia yang terjebak pada dramaturgi pameran.

Akhirnya, kesadaran kolektif memang harus terbangun dan bersepakat bahwa fenomena kejahatan bermotor tersebut merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat. Haruskah membiarkan dan menganggap tindakan ini sebagai kenakalan remaja (biasa) serta mengamini sebutan Makassar sebagai kota tidak aman?. Pihak aparat penting untuk menjawab hal ini dan dukungan masyarakat sangat diperlukan. Jangan sebut mereka geng motor, karena mereka adalah kawanan penjahat yang kebetulan mengendarai motor untuk meneror dan membuat keonaran!.

[Dimuat di Harian Fajar, 23 September 2014].

*Penulis: Ahmadin, Dosen Fakultas Ilmu Sosial & Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (UNM)

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Karya Tulis Ilmiah Populer

Polongbangkeng: Heroisme Yang Diabadikan

Published

on

POLONGBANGKENG adalah istilah yang tidak asing terutama bagi masyarakat yang berdomisili di Kota Makassar, Gowa, Takalar, dan sekitarnya. Mengapa? Ia adalah nama dari salah satu kecamatan yang berada di wilayah administratif Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Akan tetapi, apakah kita mengetahui bahwa di balik nama ini menyimpan sejarah heroisme masyarakat lokal?.

Sejarah mencatat bahwa istilah Polongbangkeng berhubungkait dengan sebuah peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Tumapakrisi Kallonna. Suatu ketika Gowa menyerang Karaeg LoE ri Bajeng yang diawali dengan merebut Kalompoang yang dikuasai Karaeng LoE. Akibatnya, tempat penyimpanan benda-benda pusaka (Kalompoang) tersebut dimusnahkan.

Mengetahui rajanya mengalami luka-luka dalam insiden penyerangan tersebut, maka terpanggilah jiwa orang-orang Bajeng untuk ikut berjuang melakukan perlawanan. Meskipun begitu, kekuatan Gowa yang sulit tertandingi itu menyebabkan orang-orang Bajeng harus pasrah menerima kekalahan dengan segala konsekuensinya.

Beberapa keterangan menyebutkan bahwa dalam pertempuran tersebut, Karaeng LoE ri Bajeng tidak berhasil ditangkap bahkan dikabarkan hilang. Sementara itu, orang-orang Bajeng yang berhasil ditangkap dan menjadi tawanan, selanjutnya dibawa ke Gowa yang masing-masing ditempatkan di Limbung, Pammate-Ballo, dan Mata-Allo. Laskar Gowa yang mengalami kemenangan dalam perang itu, lalu menamakan orang-orang Bajeng dengan sebutan Tupolong Bangkeng (Makassar: orang-orang patah kakinya).

Setelah suasana lebih kondusif pascapertempuran, Raja Gowa menunjuk Karaeng LoE di Malewang untuk menjalankan pemerintahan di Bajeng. Gelarnya diturunkan menjadi Batang Banoa Malewang yang kemudian mempunyai kewajiban untuk menyiapkan laskarnya dalam setiap perlawanan yang melibatkan Gowa. Sebagai bukti, saat Gowa menyerang Raja Parigi dan Sappaya, ia membantu dalam bentuk pengiriman laskar.

Pengabadian istilah Polongbangkeng terbukti sejak diangkatnya Kebo’ Daeng Manjarreki menjadi Karaeng Polongbangkeng yang pertama atas persetujuan Kompeni Belanda. Beliau adalah cicit Karaeng LoE Malewang yang pernah ditunjuk sebagai Batang-Banoa oleh Raja Gowa.

JIka merujuk pada data O.M. Goedhart (1920), Polongbangkeng dahulu terdiri atas 4 persekutuan hukum yang otonom. Wilayah ini masing-masing diperintah oleh Karaeng LoE ri Bajeng, Karaeng Malewang, Karaeng Pangkalang, dan Karaeng Lassang.(red)

[Sumber: Majalah Versi/Dari berbagai sumber]

Continue Reading

Karya Tulis Ilmiah Populer

Narasi Oemar Bakrie: Sosok Guru dalam Lipatan Waktu

Published

on

MEMBINCANG tentang istilah guru dalam arti luas, maka asosiasi pemikiran kita akan tertuju pada beragam kisah tentang aktor-aktor berjasa yakni para kontributor penting yang memiliki andil bagi proses pembentukan karakter generasi penerus. Demikian penting dan berharganya peran guru bagi masa depan suatu masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga profesi ini sering dianggap sebagai elit strategis. Bahkan tidak jarang muncul gurauan yang menyebutkan bahwa sebenarnya di dunia ini hanya ada dua profesi yakni pertama adalah guru dan kedua adalah lain-lain. Hal ini mengindikasikan bahwa guru memang merupakan top profesi yang fungsi dan kedudukannya, ia mencipta profesi-profesi lainnya.

Tentu belum hilang dalam ingatan kolektif kita akan sebuah cerita yang entah diperkenalkan oleh seorang kutu buku atau siapapun ia tentang Kaisar Hirohito di Jepang yang terkenal sangat menghargai peran/jasa seorang guru. Tatkala ini berpidato di hadapan para aparat pemerintah dan rakyat di negaranya, kaisar bernama lengkap Michinomia Hirohito ini pertama-tama menanyakan perihal masih berapa banyak guru yang hidup di Jepang pasca Perang Dunia II?. Pertanyaan ini lalu mengundang reaksi dari dari para anggota militer dan salah seorang di antaranya pun menyoal mengapa justru guru yang dipertanyakan, bukannya masih berapa banyak tentara Jepang yang masih hidup?. Kaisar Hirohito secara bijak pun menjawab bahwa bukannya ia tidak menghargai profesi lain, tapi menurutnya dengan fungsi strategis gurulah Jepang dapat dibangun di masa mendatang.

Dalam berbagai literatur maupun sejarah Nusantara, juga mengkisahkan betapa pentingnya peran para guru dalam mencetak generasi penerus. Karena itu, seorang putra mahkota biasanya dipercayakan oleh sang raja untuk dididik oleh seorang “guru” berbagai hal mulai dari pendidikan etika, kriteria pemimpin ideal, hingga dasar-dasar pengetahuan mengenai sistem pemerintahan. Dengan demikian, masa depan kerajaan atau kekuasaan sedikit banyaknya sangat ditentukan oleh bekal pendidikan sanga putra mahkota yang telah diberikan guru yang menggemblengnya sejak usia dini. Bahkan sosok raja pun memiliki “guru spiritual” yang biasanya dijadikan sebagai penasihat tatkala ia dihadapkan pada berbagai persoalan rumit menyangkut tugasnya sebagai pemimpin.

Dua cuplikan kisah singkat tersebut menunjukkan betapa peran guru menempati peran stategis sebagai determinan penentu bagi masa depan generasi dan bahkan umat manusia sekalipun. Meski begitu, peran strategis guru tersebut secara historis memiliki dinamika dan cerita menarik diungkapkan sebelum profesi ini dikembalikan pada porsi yang seharusnya terutama sejak diberlakukannya pemberian tunjangan profesi bagi para guru yang telah mengantongi sertifikat pendidik.

Mari kita tengok penggalan-penggalan kisah tentang eksistensi guru di Sulawesi Selatan tempo dulu yang kemungkinan memiliki keserupaan dengan cerita guru di daerah lain. Kita tentu masih ingat masa di mana gelar BA (Bachelor of Art) pernah populer namun masih langka di desa. Para orang tua menasihati anak-anak mereka agar menghormati dan hati-hati jika berbicara dengan guru yang bergelar BA tersebut. Hal ini merefleksikan bahwa kesan masyarakat akan profesi guru demikian terhormatnya, berikut munculnya sapaan perhormatan kepada para guru di tengah masyarakat yakni pak guru atau tuan guru (Tang Guru, Selayar).

Ilustrasi. Foto: Pixabay

Di balik cerita manis tentang guru tersebut, rupanya menyimpan sederet cerita memilukan dan memperihatinkan tentang eksistensinya. Saya masih ingat akan kisah seorang ibu yang anak perempuannya terkenal rewel dan gemar menangis di pelosok Kepulauan Selayar tempo dulu. Saat ia hendak menghentikan tangisan anaknya, sang ibu berkata: “he, tidak mauko diam. Kukasi kawinko itu sama guru!”. Sang anak yang enggan kawin dengan guru pun diam. Dapat dibayangkan bagaimana kesan masyarakat akan kedudukan guru waktu itu yang ditakuti sekaligus sebagai sosok yang tidak didambakan.

Kisah sedih tentang guru lainnya juga dapat diketahui melalui cerita tentang kecenderungan sebagian masyarakat “enggan menerima” guru bertamu di rumahnya. Seorang guru telat pulang dan sedang berjalan menyusuri jalan desa di sore hari sambil membawa sebuah map berisi kertas-kertas tugas muridnya, malah dianggap akan datang dan bertamu di rumah warga untuk meminta sumbangan. Akhirnya, mereka pun yang melihatnya dari jauh segera bergegas menutup pintu atau menciptkan suasana rumah tak ubahnya seperti tidak ada penghuni.

Hal ini tentu saja sudah berbeda dengan kondisi sekarang, di mana kedudukan guru seakan kembali menjadi top profesi. Kini, banyak orang mendambakan menjadi seorang guru. Singkatnya, peran guru (baik guru di lembaga pendidikan formal maupun guru secara umum, menempati posisi sentral yang menjadi determinan kuat dalam menentukan masa depan suatu bangsa.

Makassar, 13 Septermber 2016

*Penulis, Ahmadin Umar, Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNM

Continue Reading

Karya Tulis Ilmiah Populer

Hikayat Sang Bissu: Apakah Pendeta Bugis Ini Akan Punah?

Published

on

JUDUL di atas merupakan gambaran ekspresif dari kegelisahan kultural, sekaligus wujud keperihatinan sosial atas eksistensi Bissu dewasa ini. Betapa tidak, guru spiritual dan rujukan ritual dari perikehidupan manusia Bugis-Makassar sejak dulu, kini mengalami dilema pada prospeknya seiring terjadinya perubahan orientasi nilai pada masyarakat yang telah mencap dirinya modern.

Sanggupkah mereka mempertahankan eksistensi dan terus merawat warisan budaya Bugis-Makassar di antara kurangnya perhatian banyak pihak? Haruskah ketidakpedulian bersama akan mengantar komunitas langka ini pada kepunahannya? Dua pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi bagian integral tak terceraikan dari kesadaran berbangsa dan bernegara kita hari ini serta masa yang akan datang.

Hal ini penting karena warisan budaya adalah salah satu ikon menarik selain fanorama alam, yang mengundang hasrat orang-orang Barat/asing datang ke Indonesia. Lalu apa artinya sebuah kebanggaan jika hanya sebatas sebagai pemilik warisan budaya dan bukannya sebagai penikmat. Dari sinilah sesungguhnya proses penyadaran akan pentingnya eksistensi Bissu sebagai aset bangsa dan kekayaan budaya lokal Sulawesi Selatan hendak diurai.

Salah satu kendala fundamental yang menjadi pemicu sulitnya para Bissu mewujudkan eksistensi adalah persoalan ketidaktahuan serta ketidakingintahuan banyak kalangan atas hakikat keberadaan mereka. Akhirnya, berbagai prasangka buruk pun kerap dituduhkan padanya secara sadis oleh pihak-pihak yang merasa dirinya seperti malaikat suci tak berdosa. Bahkan tidak jarang ruang-ruang sosial para Bissu dikekang dan hak-hak kultural mereka dikebiri atas nama prinsip ideologi tertentu dengan menggunakan tafsir tunggal.

Sejarah seharusnya menyadarkan kita, betapa para Bissu telah menorehkan warna khas pada setiap lapis waktu perjalanan panjang kehidupan umat manusia di Tanah Bugis-Makassar. Sebagai kaum yang dianggap suci (baca: Bissu dari kata Bessi atau mabessi=bersih), para bissu dianggap sebagai penghubung antara langit dengan bumi sehingga bahasa mereka disebut basa ri langi’. Dengan kata lain melalui peran bissu, manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para Dewa yang bersemayam di langit.

Dalam sistem pemerintahan tradisional dahulu, kedudukan Bissu juga sangat penting yakni sebagai penasihat para raja. Demikian pentingnya peran mereka sehingga keberadaannya dilukiskan dalam ungkapan Bugis: “degaga raja narekko degaga bissu” (tidak akan dilantik raja tanpa bissu). Peran Bissu sebagai pihak yang dekat dengan penguasa (raja), juga tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat Bugis tentang awal mula kehadirannya yang diyakini bersamaan dengan turunnya Batara Guru dari langit ke bumi. Bissulah yang dianggap sebagai sosok manusia yang memiliki banyak kelebihan dan dipercaya mampu mengatur kehidupan di jagad raya ini, sekaligus menjadi lokomotif bagi terciptanya institusi sosial dalam masyarakat Bugis periode awal.

Sosok manusia pemilik unsur gender ganda (laki-laki dan perempuan) ini, juga memiliki andil penting terhadap terselenggaranya pelbagai kegiatan ritual, mulai dari upacara kehamilan, kelahiran, sunatan, perkawinan, hingga kematian. Selain itu, para Bissu juga berperan penting dalam rangkaian pelaksanaan upacara tolak bala (untuk mencegah terjadinya bencana dan penyakit) serta pemenuhan nazar sebagai tradisi yang melekat kental pada kultur masyarakat Bugis-Makassar.

Meskipun demikian, peran penting Bissu dalam meniti eksistensinya sebagai tokoh spiritual dan ritual di tengah kehidupan masyarakat Bugis-Makassar secara periodik, tidak terlepas dari pelbagai pengalaman pahit yang mengancam keberadaannya. Sebut saja sejarah kelam para Bissu bermula sejak keyakinan dan kepercayaan mereka harus berpapasan dengan doktrin Islam dan dibenturkan antara satu dengan lainnya. Betapa tidak, kepercayaan Bissu yang dianggap bermuatan animisme dan dinamisme, diklaim berseberangan secara diametral dengan ajaran Islam yang kaffah.

Konsekuensinya, tindak pembencian secara kolektif pun digelar sehingga tampaklah seakan para Bissu merupakan musuh bersama yang harus dilawan dan dibasmi. Kenyataan seperti ini tampak pada era 1950-an saat Gerombolan DI/TII yang mengusung misi dan mengibarkan bendera Islam dalam gerakannya, secara sadis melakukan pembantaian terhadap kelompok Bissu yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.  Bahkan di era 1965, para Bissu juga dicap secara labeling sebagai pihak yang menganut faham komunis dan bahkan keberadaan mereka dianggap sebagai pembawa sial yang mutlak dihindari oleh siapa pun.

Pelbagai pengalaman pahit yang dialami serta munculnya aneka tekanan dari berbagai-bagai pihak, mendorong para Bissu menarik diri dari panggung budaya pada ranah publik. Mereka memilih menyingkir dari realitas sosial dan bersembunyi di tepi sunyi dalam makna kultur individual serta berusaha mewujudkan eksistensi secara involutif. Akhirnya, hanya sisa-sisa Bissu dari korban kekejaman masa lampau yang masih dapat kita temukan hari ini.

Jika kita sepakat bahwa Bissu merupakan aset bangsa yang perlu dilestarikan, maka diperlukan sentuhan kebijakan pemerintah untuk membina mereka secara berkelanjutan sehingga terbebas dari ancaman kepunahan. Eksistensi mereka, bahkan memerlukan legitimasi hukum, sehingga terbebas dari rongrongan dan usikan pihak-pihak tertentu. Selain itu, harusnya posisi Bissu sebagai komunitas khusus yang langka di era modern, kedudukannya sama penting dengan situs maupun benda-benda cagar budaya yang telah dilindungi secara hukum dan bukan sebaliknya membenci apalagi mengafirkannya.

[Dimuat di Harian Fajar, 02 September 2012 dengan judul “Akankah Bissu Punah?”]

Ilustrasi. — Foto: goodnewsfromindonesia

*Penulis: Ahmadin, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar (UNM)

Continue Reading

Trending