Connect with us

Travel

Dari Puing Gereja St. Paul, Aku Menyusuri Jejak Portugis di Kota Macau

Published

on

Suasana di sekitar obyek wisata reruntuhan Gereja St. Paul, Macau, Cina. - PROFAU/Misbawati

MACAU, CHINA — Sebagai bekas jajahan Portugis sejak abad XVI, Macau menyimpan aneka warisan negeri asal Eropa ini. Mengapa? Macau tercatat dalam sejarah sebagai daerah jajahan Eropa tertua di Tiongkok. Ia pernah menjadi pos perdagangan Portugis, pasca kedatangan Jorge Alvares di selatan Cina pada 1570. Bahkan dari sejarah diketahui bahwa pihak Dinasti Ming yang berkuasa masa itu, menyewakan macau sebagai pusat niaga atau centra perdagangan yang tetap berada di bawah kekuasaan Cina. Status ini berlangsung hingga 1999, saat penyerahan kembali kedaulatan Macau ke tangan Republik Rakyat Tiongkok.

Kamis siang (02/11/2017) aku dan teman-teman berkesempatan mengunjungi salah satu obyek wisata yakni reruntuhan Katedral St. Paul atau Ruins of St. Paul’s. Puing rumah ibadah umat Kristiani ini merupakan landmark kota Macau dan tercatat sebagai World Heritage Site, UNESCO. Gereja beraksitektur ala Portugis yang dibangun abad XVII ini, dalam catatan sejarah disebutkan pernah menjadi pusat pendidikan agama Kristen. Dari Rahim akademi inilah terlahir ilmuan-ilmuan Kristiani di Mahkamah Agung, Beijing.

Lalu mengapa mewujud reruntuhan? Menurut sejarahnya, pada 1835 terjadi kebakaran hebat di mana si jago merah melalap dan meruntuhkan bangunan ini. Bagian tersisa dari peristiwa ini adalah dinding depan Katedral. Dengan demikian, apa yang kita saksikan saat berkunjung di lokasi ini sekarang adalah dinding depan yang tersisa dari kebakaran masa lampau tersebut. Menariknya, warisan ini “abadi” dan terawat hingga menjadi destinasi wisata yang enggan orang lewatkan saat berkunjung di Macau.

Reruntuhan Katedral St. Paul (Ruins of St. Paul’s) di Macau, Cina. – Foto: Pixabay

Di bawah terik sinar matahari siang itu, aku berdiri di depan reruntuhan gereja ini dan menatap bangunan sekitar yang berarsitektur Eropa. Sungguh merupakan sebuah pemandangan indah yang tentu bukan hanya menarik untuk photografi atau berselfie ria, tetapi nilai sejarahnya juga tidak kalah menggoda. Sisi kelampauan dari bangunan-bangunan tua yang unik ini membuat penasaran ingin menziarahinya.

Terlalu sibuk menikmati pemandangan di sekitar reruntuhan gereja itu, membuat aku sempat tertinggal beberapa langkah dari rombongan kami yang sudah bergerak menjauh. Aku sebenarnya ingin berfoto di salah satu sudut tempat itu yang kuanggap cukup menarik latarnya, namun bingung hendak meminta tolong kepada siapa.

Tidak lama kemudian tampak olehku 2 orang perempuan Tionghoa berdiri tidak jauh dari tempatku dan kebetulan sedang berfoto juga. Aku segera meminta tolong untuk dibantu memotret dengan kamera ponsel milikku, namun ia justru mengajak foto bersama dengan menggunakan kameranya.

Aku sih setuju saja dengan pengaharapan setelah itu aku juga memiliki dokumentasi melalui ponselku. Namun apa yang terjadi? Setelah kami foto bersama dengan menggunakan kamera miliknya dan dijepret oleh temannya, malahan ia pergi begitu saja sambil tersenyum seperti seseorang sedang memenangkan sesuatu.

Aku baru sadar telah dikerjai oleh kedua perempuan Tionghoa yang kuperkirakan mereka masih mahasiswi itu. Intinya, aku gagal membuat dokumentasi bergambar diri sendiri dengan ponsel milikku.

“Tapi sudahlah. Bukankah puluhan gambar juga sudah aku peroleh dengan menjepret sendiri”, kataku dalam hati menghibur diri sendiri.

Dari reruntuhan gereja ini selanjutnya aku menyusuri Senado Squere, sebuah plaza yang merupakan landmark Kota Macau. Arsitektur bangunannya yang berwarna klasik gaya Eropa pun menyuguhkan nuansa khas yang memikat.

“Eropa banget”, seperti itulah ungkapan yang pas untuk melukiskan tempat ini atau melabeli situasinya.

Kemudian jangan lupa ada satu obyek wisata yang tidak kalah menarik yakni Gedung Leal Senado, balaikota pertama di Macau. Menurut sejarahnya, gedung yang dibangun 1784 ini, pernah dijadikan sebagai centra kekuatan militer Portugis.

Jejak kekuasaan dan Warisan Portugis lainnya yang aku kunjungi adalah Venetian Hotel & Resort. Sebuah mall terbesar di Macau dengan desain interior yang luar biasa. Di tempat ini aku sempat melihat replika kanal Venice dan Gondola. Konon kabarnya Godolier (pengayuh kapal) tersebut didatangkan langsung dari Negara Eropa.

Di replika kanal yang berada di tengah pusat perbelanjaan itu, tampak olehku para pengunjung antri untuk menikmati fasilitas naik perahu sambil berfoto. Mereka kelihatan sangat menikmati perahu kecil itu.

Di tepi reflika kanal itu juga aku lihat seseorang menyanyikan lagu-lagu nostalgia diiringi petikan gitar klasik. Tidak hanya para bule yang meramaikan tempat ini. Beberapa pengunjung asal Indonesia juga terlihat dan bahkan sempat berbincang denganku.

“Aku dari Banyuwangi, mas”, jawab perempuan berhijab itu saat aku tanya.

Menurutnya, ia bersama beberapa anggota keluarga sengaja liburan dan berkunjung ke Macau. Sama seperti aku rombongan, mereka juga beberapa hari sebelumnya berada di Hong Kong.

Apakah warisan Portugis hanya itu? Tentu saja tidak. Sebuah tempat favorit yang digandrungi para wisatawan di Macau adalah Barrier Gate atau Portas do Cerco. Tempat ini merupakan saksi sejarah penting pembangunan Macau 1870. Pada gate ini terdapat air mancur serta sejumlah tanaman hijau di sekitarnya.

Jangan lupa bahwa di tempat ini juga kita menyaksikan karya puisi sang penyair ternama asal Portugis, Luis de Camoes yang tertulis pada dinding berwarna hijau.

Belum puas menyaksikan pemandangan berhiaskan air mancur? Ayo berkunjung ke Camoes Garden. Pada taman kota tertua di Macau ini juga terdapat air mancur dengan patung perunggu “Embrace”. Patung ini secara simbolik merupakan perlambang jalinan persahabatan selama berabad-abad lamanya antara Portugis dengan Cina. Taman ini sekaligus merupakan ruang publik yang banyak difungsikan sebagai tempat bersantai, nongkrong, serta dijadikan sebagai sarana berolah raga pada pagi hari.

Khusus bagi para anda pecinta sejarah dan kebudayaan, juga dapat mengunjungi Museu de Macau. Pada museum ini kita dapat menyaksikan berbagai koleksi yang merupakan bukti historis perjumpaan budaya Cina dan barat. Bahkan di museum ini kita dapat memperoleh aneka informasi tentang seni dan tradisi di Macau.

Selain itu, kita juga bisa menikmati saksi sejarah jurnalistik di Cina yakni Gereja St. Dominic. Menurut sejarahnya, di gereja berarsitektur perpaduan Portugis dan Spanyol inilah terbit pertama kali Surat Kabar Portugis di Cina. Dalam perkembangannya hingga sekarang, tempat ini merupakan museum seni suci dengan gallery yang memiliki sebanyak 300 buah koleksi artefak.

Masih banyak tempat lain sesungguhnya yang ingin aku nikmati hari itu. Tapi hari sudah mulai sore dan itu berarti kami harus bergegas menuju hotel untuk beristirahat.

*Catatan perjalanan Ahmadin Umar di Hong Kong dan Macau, Cina (2017) dan cerita selengkapnya dapat dibaca melalui buku “Meraba Semesta Hong Kong”.

Continue Reading
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Travel

Kamar 1617 Hotel Best Western Kota Kowloon Hong Kong

Published

on

Ilustrasi, Kota Hong Kong. - Photo: kkday.com

KOWLOON, HONG KONG — Di atas sebuah spring bed pada kamar 1617 hotel berbintang 4 bernama Best Western itu, kurebahkan tubuhku sejenak melepas lelah. Sejurus kemudian aku menyambar bungkusan makanan di atas sebuah meja lalu menikmatinya. Sebuah menu halal nasi goreng ala Indonesia dengan campuran sea food, dadar telur, dan kerupuk Jawa. Untuk ukuran perut yang sedang kosong dan lapar yang sangat, tentu menu ini cukup gurih.

Aku tak sanggup menghabiskan menu itu. Apakah tidak enak? Tentu saja bukan. Mungkin karena waktu makan sudah lewat, sehingga selera mulai menurun perlahan. Akhirnya, separuh dari nasi goreng bungkus ini harus tersisa dan aku bungkus kembali dengan seikat karet. Bukan untuk dibuang di tempat sampah menunggu basi dan lalu jadi konsumsi semut, tapi akan menjadi teman begadang malam itu.

Sedikit begadang untuk malam pertama di Hong Kong, menurutku penting untuk sebuah misi ilmiah. Ada prapengetahuan hasil bacaan yang harus aku perjumpakan dan bahkan didialogkan dengan fakta yang kujumpai sekarang. Selain itu, aku juga mendapat amanah untuk membuat sebuah laporan jurnalistik (catatan perjalanan) mengenai Hong Kong yang akan dimuat di portal berita Tebar News. Bahkan teman-teman penulis di Kota Makassar, melalui SMS selalu mengingatkan agar tidak lupa membawa oleh-oleh sepulang dari Hong Kong yakni berupa tulisan.

Selama ini aku hanya mengenal Hong Kong lewat bacaan buku-buku sejarah Asia Timur, koran dan surat kabar, lewat situs-situs internet, serta cerita lisan dari orang-orang. Tapi sekarang semua itu mewujud dalam rupa pengalaman langsung karena mendapat kesempatan berkunjung ke sini. Dan sebagian kecil atau separuhnya telah kunikmati sepanjang perjalanan selama kurang lebih 45 menit dari bandara.

Hong Kong memang hanya sebuah negeri kecil dan lebih luas Pulau Dewata Bali. Seperti yang pernah aku baca, luas wilayahnya hanya 2.755 km2, sedangkan luas Pulau Bali adalah 5.780 km2. Wilayah yang sempit ini inilah yang “memaksa” pihak pemerintah Hong Kong memaksimalkan pembangunan negerinya. Menciptakan ruang-ruang produk reklamasi hingga bertumbuhlah gedung-gedung pencakar langit dan ruang-ruang kota yang baru.

Tak pelak lagi Hong Kong pun menjelma kota paling vertikal di dunia. Ia terkenal sebagai salah satu negara di Asia yang banyak dikunjungi para wisatawan dan bahkan meraih predikat sebagai destinasi wisata ternama ke-11 dunia.

Siapa yang tidak kenal Hong Kong?, ia adalah salah satu kota termasyhur dunia yang berlokasi di bagian tenggara Tiongkok, tepatnya di Pearl River Estuari dan Laut Tiongkok Selatan. Kota ini tertabur gedung-gedung pencakar langit serta memiliki Victoria Harbour yang merupakan sebuah pelabuhan terbesar Asia dan menempati ranking ke-3 dunia setelah San Francisco di Amerika Serikat dan Rio De Janeiro di Brasil. Begitulah sejarah menjelaskan tentang perkembangan dan kemajuan negeri ini.

Dingin malam mulai menggigit tubuhku. Meresap ke dalam pori-pori kulit, menusuk tulang sum-sum dan akupun menggigil. Perpaduan iklim Hong Kong di waktu malam yang mencapai 19 derajat celcius dengan dingin AC kamar, membuat tubuhku tak kuasa melawannya.

Segera kuraih jaket yang sebelumnya kugantung di salah satu sudut kamar lalu memakainya. Jaket berbahan kain tebal ini sedikit membantu mencipta hangat sebagian tubuhku. Sementara di sebelahku sang istri tercinta yang juga turut dalam perjalanan ini kulihat telah lelap dalam mimpinya, dengan selimut tebal 90 persen menutupi tubuhnya karena kedinginan.

Sebuah minuman susu instant dalam kemasan kulihat sudah tersedia di atas meja kecil di sudut sana. Segera kuhampiri dan meneguknya separuh. Aku berharap segelas minuman dan sedikit kue kering ini membantuku menemukan berbagai inspirasi menulis sehingga benar-benar dapat membawakan oleh-oleh tulisan untuk para sahabatku seperti yang mereka minta.

Tidak seperti biasa yang menggunakan malam untuk membenahi produk di toko online milikku, malam itu kembali aku meneruskan proses permenungan. Aku berusaha menyusun lupa dan menata ingat tentang sejarah. Tentang Hong Kong masa lampau.  Dan sebagai mantan mahasiswa yang pernah mengkaji kota dalam perspektif sosiologi ruang dengan pendekatan sejarah, aku tertarik memulai proses penemukenalan kembali Kota Hong Kong dari aspek ruang geografis.

Kucoba mengingat kembali beberapa konsep ruang kota yang pernah kutulis saat menyelesaikan studi program doktoral 2011 lalu.

“Kota secara sosial terbentuk bukan tanpa intervensi manusia, melainkan sarat dengan dinamika lembaga maupun relasi sosial. Bahkan berbagai ruang dalam kota yang telah diberi dan memiliki makna sedemikian rupa, sesungguhnya dibentuk oleh suatu proses sosial yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa”, kurang lebih seperti itulah prawacana yang pernah kutulis.

Terbayang kembali bagaimana seorang Hans Dieter Evers, sang penulis buku “Makna Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial di Asia Tenggara” menulis 3 (tiga) desain kontruksi (kontruksi emik, kontruksi kultural, dan konstruksi ekonomi) yang digunakan sebagai kerangka konseptual untuk melihat ikhwal perubahan kota.

Dari sini aku membayangkan sosok-sosok arsitek tangguh dan para perencana kota visioner yang ada di balik mega proyek pembangunan megah Kota Hong Kong yang konon memiliki lebih dari 7.600 gedung pencakar langit.

“Tapi sudahlah, sebaiknya aku simpan dulu daftar pertanyaan ini sembari menunggu kunjungan esok hari”, kataku dalam hati.

Rasa penasaran berlanjut tentang geografi Hong Kong yang masih mengganjal di benak, mengajakku meraih sebuah gadget dari dalam sebuah tas.

Segera kubuka situs Wikipedia dan membacanya. Dari situ aku mengetahui bahwa posisi Hong Kong secara geografis yang teletak di laut Tiongkok Selatan, 60 km (37 ml) sebelah timur Makau di sisi berlawanan dari Pearl River Delta. Hong Kong dikelilingi Laut Tiongkok Selatan di timur, selatan, dan barat, serta berbatasan dengan Kota Shenzhen di utara, di seberang Sungai Sham Chun (Sungai Shenzhen).

Dari Wikipedia juga aku membaca dan menemukan bahwa sebagian besar daratan Hong Kong terdiri atas pegunungan dengan tingkat kecuraman tajam dan ini menyebabkan kurang dari 25 persen luas daerahnya yang terbangun. Selebihnya sekitar 40 persen luas daratan dijadikan taman kota dan cagar alam.

Satu hal menarik dari informasi ini bahwa vegetasi ketinggian rendah di Hong Kong didominasi oleh hutan hujan sekunder, karena hutan primernya telah hancur saat Perang Dunia II. Lalu di mana konsentrasi pembangunan kotanya?.

Eksiklopedia online ini menjelaskan sebagian besar pengembangan kota kawasan ini berada di Semenajung Kowloon tepatnya di sepanjang pesisir utara Pulau Hong Kong dan seluruh New Territories. Adapun titik tertinggi di negara ini adalah Tai Mo Shan, yakni 957 meter (3.140 ft) di atas permukaan laut.

Struktur spasial Hong Kong dengan kawasan pesisir yang memanjang, menjadikan ia memiliki banyak sungai dan pantai. Tidak heran jika UNESCO pada 18 September 2011 lalu, memasukkan Hong Kong National Geopark ke dalam Global Geoparks Network. Adapun Hong Kong Geopark ini terdiri atas 8 geo-area yang terbagi sepanjang kawasan batuan vulkanik Sai Kung dan kawasan batuan sedimen timur laut New Territories.

Dari Kamar 1617 Hotel Best Western ini, setidaknya proses “meraba semesta Hong Kong” kembali berlanjut meski via perpaduan ingatan bacaan sejarah dan bacaan ensiklopedia online bernama Wikipedia. Ziarah ke masa lampau Hong Kong tak terasa membawaku ke puncak malam dan waktu Hong Kong sudah menunjuk pukul 24.00 WH. Aku kemudian…………

*** Catatan perjalanan Ahmadin Umar di Hong Kong (2017) dan selengkapnya dapat dibaca di Buku “Meraba Semesta Hong Kong”

Continue Reading

Travel

Pelangi di Puncak Bollangi: Wisata Gowa Yang Mirip Raja Ampat

Published

on

GOWA Puncak atau Bukit Bollangi merupakan obyek wisata yang berlokasi di Desa Timbuseng Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa dan belakangan ini lagi viral di Media Sosial. Betapa tidak, banyak pihak menyebut obyek wisata benama Bollangi Ampat ini mirip dengan destinasi wisata Raja Ampat di Papua Barat. Benarkah demikian? Lalu apa dan mengapa Purnama di Puncak Bollangi?

Selengkapnya…….

Continue Reading

Travel

Mencari Rumah Tuhan di Hong Kong

Published

on

Islamic Center Kowloon, sebuah masjid yang berlokasi di tikungan antara jalan Nathan dan Haiphong. - Foto: Ahmadin Umar

HONG KONG — Adakah “Rumah Tuhan” di Hong Kong?, sebuah pertanyaan penting khususnya bagi kaum muslim yang hendak berwisata ke negeri ini. Betapa tidak, tempat ini adalah kebutuhan vital paling wahid di samping obyek wisata.

Mencari “Rumah Tuhan” di Hong Kong ternyata tak sulit seperti yang dikhawatirkan. Sehabis menikmati menu halal pada sebuah Restoran Indonesia di Kowloon, Hong Kong siang itu (01/11/2017), bus yang aku tumpangi mengantar dan lalu berhenti tidak jauh dari sebuah masjid. Suara adzan baru saja berkomandan saat aku turun dari bus menuju rumah Tuhan ini yang dari papan namanya terlihat bertuliskan “Islamic Center Kowloon”.

Masjid Kowloon ini akrab disebut Islamic Center Kowloon, yang merupakan salah satu dari masjid utama di Hong Kong. Masjid ini terletak di tikungan antara jalan Nathan dan Jalan Haiphong, serta di sebelahnya adalah Kowloon Park. Di masjid inilah aku menuaikan ibadah shalat Dhuhur.

Pada masjid Kowloon ini terdapat tiga ruang shalat dan sebuah ruang pertemuan. Bahkan terdapat sebuah klinik medis dan perpustakaan.

Baca selengkapnya……

*** Catatan perjalanan Ahmadin Umar di Hong Kong (Dimuat di Tebarnews.com)

Continue Reading

Trending